Bab 5 : Hari Ketiga MPLS.

40 7 33
                                    

Pintu kamar Tama diketuk oleh sang papa dari luar. Tama melenguh, membuka mata sembari mengecek ponselnya. Layar ponsel menampilkan pukul lima pagi, di bawah tampilan jam juga terdapat notifikasi-notifikasi dari sosial media miliknya.

"Tam," panggil sang papa sembari mengetuk pintu kembali.

"Udah bangun!" Tama memekik kesal dengan suara yang serak. Dalam hatinya masih tersimpan rasa kecewa semalam. Sakit untuk dirasakan, susah untuk dilupakan. Entah mengapa Tama merasa dirinya sangat susah melupakan kejadian yang membuatnya sedih, kecewa, dan sakit hati. Berkali-kali ia mencoba mengalihkan perasaan itu dengan menonton film, bermain game, bahkan berkeliling menggunakan motornya, tapi tetap saja saat pengalihannya selesai, perasaan itu kembali lagi. Malah membuatnya semakin sesak.

"Papa udah siapin air buat mandi, handuknya juga udah, kamu tinggal mandi, ya. Papa tunggu di meja makan," ujar Timo lembut kemudian berjalan menuruni tangga.

Tak ada jawaban selain pekikkan tadi. "Maaf, Tam," monolog Timo.

Di meja makan, nasi dan lauk-pauk hangat tersaji dengan kepulan asap putih tipis. Sambil menunggu sang anak, Timo membuat jadwal untuk hari ini di ponselnya. Tiap hari, selama bertahun-tahun, Timo memang selalu membuat jadwal. Bahkan ia juga memasang alarm ponselnya supaya ia tidak melupakan jadwalnya.

"Buat analisis data saham, ketemu klien, jemput Tama." Tangan Timo sibuk mengetik pada layar ponsel.

"Ajak jalan juga kali, ya?" gumamnya sembari memegang dagu. "Boleh, deh. Daripada di rumah cuma diem-dieman," sambungnya.

Setelah Tama rapi, ia turun ke lantai bawah membawa tas biru gelap miliknya. Ia memakai seragam pramuka tanpa hasduk dan topi baret.

"Gak pake hasduk sama topi, Tam?"

Yang ditanya menatap Timo.

"Gak," jawabnya singkat.

Sang papa mengangguk, menyuruhnya duduk, lalu mereka berdua makan bersama. Taka da obrolan hangat di meja makan pagi ini. Hanya ada sebuah pertanyaan, "Mau nambah?"

Dan sebuah jawaban ketus dari Tama. "Gak."

Tama selesai lebih dulu disbanding sang ayah. Nasi di piring Tama masih tersisa, tapi tuannya ingin segera pergi dari rumah. Membayangkan menembus kabut tipis pagi yang sejuk sembari merentangkan tangan dan menutup mata, rasanya membuat Tama semakin gelisah jika ia tak juga bangun dari kursi makan ini.

Melihat Tama yang beranjak, Timo segera bertanya, "Udah, Tam?"

Kali ini Timo hanya mendapat deheman sebal dari sang anak.

"Mau bawa bekel, gak?" tanya Timo, lagi.

"Gak ah!" ketus sang anak sembari menatap tajam pada Timo.

"Tama mau berangkat. Assalamualaikum," sambungnya.

Bersamaan dengan itu, Timo ikut beranjak dari kursi. "Tam, bareng papa, yuk?"

Tama melirik sinis. Lirikannya itu berhasil menggores hati Timo. Perih kembali terasa diiringi sesak yang mulai mengelilingi dirinya.

"Bareng papa, ya? Nanti papa jemput juga. Papa pengin tebus yang kemarin," mohon Timo.

Wajah melas Timo berhasil membuat sedikit perasaan kesal Tama meleleh. Namun tetap saja Sebagian besar perasaannya masih terikat dengan amarah, kesal, dan kecewa setelah apa yang terjadi kemarin antara dirinya dan Timo.

"Tama capek! Papa gak pernah nepatin janji," ungkap Tama. Bibirnya mulai bergetar pelan saat mengucapkan perkatannya itu. Kelopak matanya mulai membendung beberapa tetes air mata yang semakin lama semakin banyak.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang