Ah, sudah hari Sabtu saja. Rasanya kemarin baru hari Senin. Kenapa waktu terasa cepat jika tidak ditunggu, ya?
Sudah dari pukul lima Juni merapikan rumah. Biasanya Juni baru merapikan rumah pada pukul enam, tapi untuk hari ini tidak, karena hari ini sang anak memiliki jadwal terapi di rumah sakit.
Abyan melipat kedua tangan di atas meja, perlahan ia menurukan kepalanya yang sudah tak sanggup lagi ditahan olehnya. Tanpa sadar Abyan melenguh pelan, matanya mulai menutup. Tubuh Abyan dibalut hoodie, membuatnya tidak merasa kedinginan di pagi hari ini.
Nadif datang dari kamar. Ia berjalan menghampiri Abyan yang mulai terlelap. Saat sudah berada tepat di hadapan sang anak, Nadif berjongkok, menyamakan wajahnya dengan wajah sang anak. Senyum Nadif terbit. Tangannya bergerak mengusap punggung Abyan. Punggung rapuh yang selama ini berjuang mati-matian untuk bertahan.
Capek banget, ya? Batin Nadif.
“Ayah,” panggil Juni, datang dari halaman rumah. Sontak Nadif memberi kode pada Juni untuk diam. Khawatir sang anak terbangun.
Juni mendekat. “Yah … Aby-nya tidur, gimana dong? Kita kan mau ke rumah sakit.”
“Gapapa, ayah gendong aja sampe mobil, nanti Aby tidur di mobil aja,” ujar Nadif.
Juni mengangguk. Benar juga kata suaminya.
Perjalanan menuju rumah sakit membutuhkan waktu sekitar 25 menit. Belum lagi kalau macet, biasanya membutuhkan waktu hampir 40 menit. Di jalanan, tiada hari tanpa yang namanya macet. Karena alasan inilah ketiganya berangkat lebih pagi.
Mobil melesat melintasi jalan penuh keheningan. Matahari baru sedikit menampakkan diri, hanya sinarnya yang mulai memenuhi kota tempat mereka tinggal. Di kursi kemudi, Nadif menyetir sambil mengunyah permen karet. Ia mendapat informasi dari sosial media, katanya mengunyah permen karet dapat membentuk jawline pada bagian pipi bawah. Tentu saja Nadif ingin memilikinya. Siapa tahu Juni makin cinta, ‘kan?
Sementara itu, Juni berada di kursi tengah dengan Abyan yang tidur bersandar di bahunya. Kedua tangan Juni sigap memeluk dan menahan Abyan agar tidak terjatuh saat mobil berbelok. Kasih ibu benar-benar sepanjang masa.
“Bunda …,” lirih Abyan dengan mata tertutup.
“Iya, sayang?” Juni mengusap pipi Abyan.
“Udah sampe mana?”
“Masih jauh, kok. Tidur aja lagi, gapapa,” kata Juni, lembut sekali.
Abyan berdehem kecil, mendusel pelan pada bahu sang ibu, kemudian kembali terlelap.
Mereka sudah sampai di rumah sakit. Setelah Nadif parkir, ketiganya ke luar dari mobil. Tampak Juni memakai sebuah tas selempang kecil berbahan kulit sapi berwarna coklat. Ketiganya melangkah menuju pintu utama rumah sakit yang jaraknya beberapa puluh meter lurus ke depan. Abyan masih setengah sadar. Jalannya seperti tertiup angin, ke sana ke mari.
“Mau cuci muka dulu,” tutur remaja itu sembari mengucek sudut matanya. Kelopak matanya belum terbuka sepenuhnya, masih membuka-menutup.
Abyan membentuk kedua telapak tangannya seperti mangkuk. Ia membuka keran yang seketika membuat airnya tertampung dalam telapak tangan. Segar rasanya saat wajah Abyan terbasuh air, membuat dirinya sadar dan kelopak matanya sepenuhnya terbuka.
Abyan menghela napas lega. Ia berbalik, menengok pada kedua orang tuanya yang merekah senyum. Juni mengeluarkan tisu dari saku, lalu memberikannya pada Abyan.
Ruang Dokter Astrid berada di lantai lima, cukup jauh jika berjalan kaki menggunakan tangga dari lantai satu ini, jadi ketinganya memakai lift. Lift bergerak naik, sempat berhenti pada lantai dua dan empat, saat ada orang lain yang masuk dan ke luar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Novela Juvenil[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...