Bab 27 : Tama Timo.

2 0 0
                                    

Bukanlah hal yang mudah mengendarai motor sambil berderaian air mata, apalagi mengetahui kebenaran bahwa sahabatnya sendiri mempunyai penyakit mental PTSD. Tama rasanya hanya ingin menangis sejadi-jadinya dalam sebuah ruangan yang sepi, yang hanya ada ia seorang diri.

Beberapa kali Tama mengusap air mata di pipinya, tetapi sayang air mata tak mau berteman dengannya. Tangisnya malah semakin pecah, apalagi saat sampai di rumah Tama segera mengunci pagar, mengunci pintu rumah, menelungkupkan kepala di kasur dan berteriak layaknya orang gila.

Hatinya nyeri begitu dijelaskan apa yang terjadi pada Abyan oleh Abyan sendiri. Sebab-sebab Abyan tidak mau dipegang, pendiam, kini sudah diketahui oleh Tama dan teman-temannya. Namun, yang paling menyakitkan adalah ‘siapa’ yang melakukan hal bangsat tersebut pada Abyan. Tama ternyata mengenali Nanda walaupun keduanya tidak dekat. Waktu itu Tama tampak kebingungan begitu di jalan depan rumahnya ada Nanda yang dibawa para warga menuju kantor polisi. Saat ia bertanya pada sang papa, Timo hanya mengatakan bahwa Nanda melakukan hal buruk pada seseorang.

Siang ini biarkan Tama menangis. Biarkan ia bersedih sejadi-jadinya atas kenyataan yang ia dapati. Biarkan ia menghabiskan air matanya.

“Nanda bangsat!” umpat Tama seraya meremat selimut.

Sore hari setelah tangisan panjang digunakan Tama untuk menenangkan diri di balkon kamarnya. Sebelumnya ia sudah mandi, tubuhnya terasa lengket jika tidak mandi dua kali sehari. Perihal Tama sudah makan atau belum, jawabannya belum. Tama tidak selera makan, malah rasanya tidak lapar sama sekali walaupun hari ini Tama hanya makan pagi.

Di bawah langit bersemburat jingga ia menghela napas. Dirinya memikirkan Abyan sore ini, tentang apa yang sedang dilakukannya, tentang banyak pertanyaan yang mulai terlintas di pikiran Tama. Lo baik-baik aja? Apa yang lo rasain? Berat ya jalanin ini sendirian? Gue pengin temenin perjalanan lo sampe pulih, boleh?

Ingin sekali Tama memberi Abyan semangat, memberinya sebuah asa untuk terus berjalan walaupun tertatih, memberondong Abyan dengan jutaan kalimat positif, memberikan atensi penuh untuk sahabat malangnya itu.

Suara mobil Timo terdengar. Tama melongok ke bawah, mendapati sang papa yang sedang menggeser pagar supaya mobil bisa masuk ke halaman rumah.

“Tam? Ngapain di situ?” pekik Timo saat melihat anaknya melongok.

“Nggak! Santai-santai aja!” jawab Tama kemudian menghilang dari balkon. Rupanya Tama pergi membuka pintu rumah yang lagi-lagi ia kunci. Atau mungkin memang selalu ia kunci tiap kali masuk rumah.

Saat ada dihadapan dirinya, Timo mendapati kantung mata Tama yang agak membengkak. Timo memegang kedua pipi Tama. “Kenapa, Tam?”

“Menurut papa?” Tama bertanya balik.

Timo berdehem. “Ada masalah apa?”

“Banyak.”

Keduanya berada di meja makan. Mereka duduk berhadapan. Di atas meja terdapat pizza yang dibeli Timo sepulang kerja tadi. Ia mendengarkan dengan saksama cerita sang anak sambil memakan sepotong pizza.

“Gimana gak nangis coba kalo tiba-tiba tau sahabat deket papa punya rahasia yang gak papa tau? Sedih banget, ‘kan?”

Timo menatap langit-langit dapur seolah sedang berpikir.

“Emang kamu udah sedeket itu sama A … Aby?”

Tama menatap malas sang papa, ia mengulang pertanyaan papanya dengan wajah menjengkelkan.

“Papa kan nanya, Tam,” ucap Timo.

“Tama udah deket sama Abyan! Dari awal Tama emang ngerasa dia beda, sih, dari yang lain. Cuma Tama gak expect kalo dia punya PTSD! Tama tuh mikir kayak, ya ampun dia jalanin kehidupan setelah diperkosa gimana ya? Dia kuat?” tutur Tama, ia tidak bisa duduk tenang saat bercerita.

Timo menggaruk tengkuknya.

“Sakit banget tau dengernya! Bukan Tama cengeng, cuma kayak … tau, ah! Papa gak bakal paham kalo gak ngerasain,” lanjut Tama seraya mengambil sepotong pizza dan memakannya.

“Jujur papa emang gak paham.”

Tama berdecak. “Papa gak seru! Selain sering boong, papa juga gak punya empati!”

“Maksud kamu?”

“Papa boong pas Tama tanya kenapa Nanda dibawa warga. Inget dong?”

Melihat sang papa menggeleng, Tama rasanya ingin mencengkeram wajah papanya. Ia benar-benar sebal melihat tingkah dan respon Timo yang membuat dirinya ingin marah.

“Maaf, ya, Tam. Tapi papa emang gak bisa paham perasaan kamu. Kamu juga gak bisa paksa papa buat paham perasaan kamu. Kalo kamu emang mau bantu A … siapa sih tadi namanya?”

“Aby!”

“Iya itu dia. Kalo kamu mau bantu dia, ya udah bantuin. Temenin dia biar gak sendiri lagi menjalani hidup.” Timo menekankan kata ‘hidup’ dan kembali melanjutkan, “jadi sahabat sebaik-baiknya buat dia. Kalo perlu, nginep di rumahnya, jagain dia, atau kalo mau ajak aja nginep di sini sambil nonton film sampe mual sama kamu.”

Tama menyebik. “Papa mau ngasih saran apa nyindir?”

“Kesindir, ya?” tanya Timo, mengedip-ngedipkan kedua matanya.

“Apa, sih, pa! Aneh banget! Gak jelas!”

“Kamu cerita supaya dapet saran ‘kan? Ya itu saran dari papa. Buat cerita bareng-bareng sama Aby, jalan-jalan, atau ngapain deh terserah. Jaga yang udah kamu punya, jangan nyesel lagi. Papa tau kok pas kamu izin main itu sebenernya kamu ke makam.”

Tama melipat dahi. “Kok tau?!”

“Ini bukan pertama kalinya kamu izin main tapi pulang-pulang celana kotor, sepatu penuh tanah. Kamu pikir papa gak tau? Papa tau!” jawab Timo.

“Bukan salah kamu mama dan Galang meninggal. Mereka inisiatif karena mereka sayang kamu, bukan karena kamu yang minta ‘kan? Selama ini juga orang tua Galang, papa, atau siapapun itu gak ada yang nyalahin kamu atas kematian mereka. Merasa terpukul karena kehilangan itu boleh, tapi hidup kamu gak boleh berhenti. Hidup kamu, papa, orang tua Galang, semuanya harus terus berjalan. Selama masih hidup, ya udah jalanin, walaupun kadang kerasa sesek.”

Tama terdiam. Ia menatap lamat-lamat wajah sang papa. Sesaat kemudian Tama menghela napas panjang.

“Udah waktunya sadar, Tam. Mulai hidup baru. Kalo dulu punya Galang, sekarang punya Aby. Jagain tuh anak orang. Anggep aja adik baru kamu.”

Tama menganga, ia bangkit dari kursinya dengan wajah kesal, lalu dua detik kemudian berubah menjadi cengiran. “Tumben sarannya bermanfaat.”

Selang beberapa detik, ada yang memanggil nama keduanya dari luar. “Assalamualaikum! Pak Timo! Tama!”

Bersambung.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang