Bab 15 : I See You, You See Me.

19 6 9
                                    

Masih terlalu pagi untuk seorang remaja SMA sudah berada dan duduk di kursi kelasnya itu. Telinganya disumbat kedua earphone, kepalanya ditelungkupkan di antara lipatan kedua tangannya di atas meja. Jendela masih tertutup rapat, membuat ruangan itu lebih hangat dibanding biasanya.

Pertengkaran kala itu dengan sang papa masih terasa amarahnya saat ini dalam diri Tama. Mulutnya berucap memaafkan, tapi soal hati, tentu saja tidak semudah yang dibayangkan. Bergumul di kasur saat di rumah, jarang menyapa sang papa, lebih banyak hening. Terbesit di pikirannya meminta maaf, tapi gengsinya terlalu tinggi. Mungkin menunggu yang ia punya pergi.

Tama menutup matanya, musik mengalun mendayu-dayu, syahdu. Instrumen terdengar sederhana, tetapi membuat lagu menjadi lebih terasa suasananya. Bagaimanakah kabar diriku? Baik-baik saja. Dalam hati ada rasa penolakan pada lirik itu. Bagaimana mungkin ia baik-baik saja disaat dirinya merasa bersalah pada sang papa yang merawatnya selama ini? Terlebih lagi setelah sang mama meninggal, sang papa harus memutar pikiran tentang cara membagi waktu kerja dengan di rumah mengurus dirinya-Tama.

Dalam lamunan pemikirannya, Tama merasakan keberadaan orang lain di dalam kelas. Kepalanya dinaikkan menjadi tegak dengan struktur tulang punggungnya. Ia menengok pada jendela dan tirainya yang sedang dibuka oleh Ilal.

"Eh, gapapa, 'kan kalo gue buka?" tanya Ilal, berhenti melakukan aktivitasnya saat menyadari Tama menatapnya.

"Gapapa," jawab Tama, kembali menelungkupkan kepalanya di atas meja.

Setelah semua jendela dan tirainya terbuka, Ilal mendudukkan diri di kursinya. Ia melepas tali tas dari bahunya, membiarkan tasnya disangga belakang kursi. Netranya menatap lamat-lamat teman sekelompoknya yang tidak seperti biasanya. Nalurinya segera bergerak, ia beranjak dari kursinya dan duduk pada kursi Abyan.

"Lo ... sakit?" tanyanya, ragu-ragu.

Tama hanya diam. Mungkin tidak mendengar karena memakai earphone pada kedua telinganya.

Ilal menyiku Tama, membuat yang disiku kembali menaikkan kepala dan mendengus sebal.

"Apa?"

"Lo sakit?" Ilal mengulangi pertanyaan, cemas. Sementara teman di hadapannya, tampak memberikan raut wajah kesal.

"Enggak."

"Muka lo lecek amat keliatannya," kata Ilal.

"Anjing!" Tama berseru.

"Gue manusia, bukan anjing."

"Lo kalo cuma mau ganggu, mendingan pergi!" pinta Tama.

Mendapati pernyataan seperti itu, Ilal segera mengangguk. Sepertinya ia salah jika mengkhawatirkan temannya. "Oke."

Semakin siang, siswa sepuluh satu semakin banyak yang berdatangan. Saat hampir pukul 7.30, bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama dibuka dengan pelajaran BK. Asyifa, dengan senyum yang merekah-selalu-melangkah masuk dengan penuh semangat sambil menengok pada anak kelas sepuluh satu. Para murid juga membalas senyuman itu.

"Pagi semua! Gimana kabarnya? Siap belajar BK bareng ibu?" tanya Asyifa, antusias.

"Siap, bu!" Anak sepuluh satu menjawab, tidak kalah antusias.

"Pada pertemuan minggu lalu, ibu minta kalian untuk perkenalan diri, 'kan? Nah, sekarang, ibu pengin kalian mengenal lebih dekat teman kalian, minimal teman sebangku dulu, deh."

Ismi dan Bulan yang mendengar perkataan Asyifa langsung saling menatap.

"Kita udah deket, kan, Lan?" bisik Ismi. Bulan mengangkat kedua bahunya, membuat Ismi memasang wajah cemberut. "Gue sebel sama lo."

"Kalian siapkan selembar kertas. Duduknya berhadapan, supaya saling menatap," perintah Asyifa.

Murid-murid segera menuruti. Beberapa anak laki-laki tampak malu-malu, termasuk Abyan. Sesaat setelah menghadap Tama, dirinya langsung berusaha menyibukkan diri dengan merogoh tas, mengambil buku dan merobek lembar tengahnya.

"Kalau sudah, ibu minta semuanya tenang."

Seketika kelas hening. Sebagian murid mengulum bibir, berusaha tidak tertawa melihat wajah teman di hadapannya.

"Coba amati. Apa yang kalian lihat dari teman di hadapan kalian? Tulis semua yang kalian lihat di kertas selembar dengan bahasa yang baik dan sopan. Tulis sejujur-jujurnya tentang apapun, baik sikap, fisik, atau hal lainnya."

Tama dan Abyan saling menatap. Beberapa detik berlalu, Abyan mulai merasakan wajahnya menghangat. Sial! Sepertinya wajahnya kini memerah.

"Lo malu, ya, kalo diliatin?" tanya Tama, berbisik pelan saat Abyan berpaling dan mulai menulis di atas meja.

Abyan melirik, kemudian mengangguk pelan tanpa menatap Tama.

"Kok malu, sih?" Tama meledek, senyum jahilnya terbit. Sementara Abyan, pura-pura tidak memperdulikannya.

Tama meletakkan kertas di atas meja, perlahan menulis tentang Abyan. Pendiam, agak kaku, bibirnya tipis dan pink, bola matanya coklat, pipinya berisi, kalo bicara lucu, kayak anak kucing. Tama menatap Abyan kembali. Ia meneliti Abyan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sering nge-blush.

Tama menyudahi aktivitasnya. Ia kembali mengamati tiap tulisan miliknya, kemudian mengangguk pelan. Tama melihat Abyan yang baru saja selesai menulis, ia sedikit menaikkan tubuhnya, penasaran apa saja yang ditulis Abyan tentang dirinya. Sayangnya Abyan segera membalik kertas itu.

"Gak boleh liat," ujar Abyan.

"Sudah semua?" tanya Asyifa, berkeliling dari meja ke meja lain.

"Sudah, bu!"

"Nah, kalau sudah, silakan kalian tukar kertas kalian dengan kertas teman di hadapan kalian. Baca dalam hati dulu, ya. Nanti ibu akan minta beberapa anak untuk membacakan hasil tulisannya."

Mendengar pernyataan Asyifa, para murid segera bersorak. Mereka malu. Asyifa menanggapi dengan kekehan kecil.

Tama segera memberi Abyan selembar kertas miliknya itu. Abyan segera mengambilnya dan memberikan kertas miliknya pada Tama dengan ragu-ragu. Keduanya kini saling membaca tulisan teman di hadapannya.

Tama baik, alis agak tebal, kadang nyebelin, perhatian, usil. Tama melipat dahi setelah membaca apa yang Abyan tulis. Selain menulis kelebihan, temannya itu menulis kekurangan Tama.

"Anak kucing?" gumam Abyan, memasang wajah jijik sampai-sampai sedikit giginya terlihat.

"Lo kayak anak kucing," jelas Tama.

Abyan menatap Tama. "Apanya yang mirip?"

"Mirip aja pokoknya."

"Aby gak suka kucing," ucap Abyan.

Tama menjetikkan jari. "Gue tambahin lagi, deh. Lo orangnya polos."

"Tama nyebelin," pungkas Abyan.

"Tapi gue baik, 'kan?" Tama menunjuk kertas milik Abyan. Kedua alisnya dinaikkan.

"Itu kata bunda, bukan kata Aby. Aby bingung mau tulis apa, jadi tulis itu aja," sanggah Abyan.

"Berarti gue berhasil ambil hati bunda lo. Kapan-kapan gue main, ah. Mau ketemu bunda lo."

Abyan sedikit mengembungkan pipinya, memasang wajah cemberut.

"Gimana kalo nanti pas pulang, lo bareng gue aja? Gue pengin tau rumah lo, By."

"Gak boleh!"

Tanpa Tama dan Abyan sadari, Ismi dan Bulan tengah memperhatikan mereka sejak tadi. "Kayak Tom and Jerry, ya," celetuk Ismi.

Bulan berdehem kecil, mengiyakan.

= = = = =

Jangan lupa vote, komen, dan follow! :D

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang