Minggu pagi disempatkan Tama untuk berolahraga. Sejak pukul lima, ia sudah berlari memutari daerah yang ia ketahui, bahkan Tama melewati SMA 5 Yadair yang gerbangnya tertutup. Hampir seharian kemarin ia berada di dalam kamar, keluar hanya untuk buang air dan makan, membuat tubuhnya terasa kaku. Maka dari itulah ia memutuskan berolahraga di pagi hari yang cerah ini.
Tama memakai kaus oblong dengan celana pendek selutut, ia juga memakai jam tangan pada pergelangan kirinya. Bisepnya yang baru mulai terbentuk terlihat. Keringatnya meluncur deras pada area pelipis. Ia menghirup napas dari hidup dan mengeluarkannya dari mulut seirama dengan langkah kakinya saat berlari. Tiga puluh meter di depan, Tama melihat Titin yang sedang menyapu teras. Tama segera menghampirinya.
“Assalamualaikum, bude!” Tama berhenti tepat di hadapan Titin.
Titin terkejut sepersekian detik, lalu ia membalas sapaan Tama.
“Bude, mau es teh dong, satu,” kata Tama sambil memasuki warung dan duduk di salah satu kursinya.
Titin mengangguk. Ia segera membuatkan teh yang diminta.
“Udah lari dari mana, Tam?” tanya Titin disela-sela membuat teh. Ia membuka toples kaca berisi gula, lalu menyendok sebanyak tiga sendok makan dan menuangkannya pada teh tersebut.
“Jauh, bude. Pokoknya dari jam lima-an sampe sekarang,” terang Tama, melirik jam tangannya yang hampir pukul tujuh.
“Jangan diporsir, Tam. Kamu mah olahraga udah kayak mau jadi atlet lari,” cibir Titin. Ia membawa segelas teh dan menyajikannya pada Tama dengan sebuah sedotan, lalu duduk di samping Tama.
Saat Titin mendudukkan dirinya, Tama bergeser menjauh. “Jangan deket-deket, bude! Tama bau keringet.”
Dari arah luar, Titin melihat Juni berjalan menuju warung. Juni memakai daster lengkap dengan kerudung yang semuanya berwarna ungu. Senyum Juni merekah saat retina mata Juni dan Titin bertemu. Senyum Juni rasanya menenangkan bagi Titin.
“Assalamualaikum!”
Titin bangkit dari duduknya, tangannya disalimi Juni.
“Waalaikumussalam. Kalo nyari ayam, aku belum masak. Masih direbus, Jun,” kata Titin.
Juni menggeleng.
“Terus kamu mau apa? Dipilih aja, baru selesai dimasak semua.”
Juni kembali menggeleng. “Juni bukan mau beli, tapi mau bantu bude jualan hari ini,” jelas Juni.
Tama melirik, melipat dahi. Ia bertanya-tanya siapa sebenarnya wanita di hadapan Titin, sepertinya sudah lama kenal, makanya terlihat dekat. Apakah wanita itu lebih dekat dengan Titin dibanding dirinya?
“Kamu gak sibuk emang?” tanya Titin.
“Enggak, bude. Juni udah masak dari pagi-pagi. Jadi, ya, daripada gak ngapa-ngapain, bantuin bude aja,” pungkas Juni.
“Udah nyapu? Semuanya udah?” Juni mengangguk.
Titin tidak bisa menyembunyikan senyumnya. “Ya udah kalo gitu. Makasih, ya, Jun.”
Juni segera pergi ke dapur di belakang. Ia mengaduk-ngaduk ayam yang sedang direbus dengan bumbu kuning. Sementara Titin, ia kembali duduk di samping Tama.
“Bude, Tama bau, lho!” Tama pindah kursi.
“Ya terus?” tanya Titin, menantang.
“Ya nanti bude kebau-an,” jelas Tama.
Titin berdehem malas. “Laper, gak, Tam? Mau makan?”
Tama menggeleng, ia menyedot minumannya. “Nanti aja, belum mandi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Fiksi Remaja[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...