Bab 29 : Kafe Nyaman yang Ramai.

11 3 0
                                    

Kafe Nyaman, kafe milik Ustadz Heri yang kini ramai warga sekitar. Ada banyak anak-anak, orang dewasa, dan pemuda-pemudi yang datang. Lampu-lampu berwarna kuning yang membuat mata tak merasa sakit, musik pop yang baru-baru ini viral, dan langit berhias gemerlap bintang membuat suasana makin terasa menyenangkan!

Di pintu masuk kafe, ada Ustadz Heri yang menyambut kedatangan undangannya. Wajahnya ceria, berseri-seri, selain karena senang kafenya menjual lebih dari target, ia juga senang karena kehadiran para warga yang menjadi tamunya sekarang.

Kursi dan meja didekatkan satu sama lain, dibentuk sedemikian rupa oleh Ustadz Heri dan para karyawan di sana agar semakin terasa kedekatan antar insannya. Keramahan para karyawan Ustadz Heri tidak perlu dipertanyakan. Senyuman mereka tak pernah luntur disela kesibukan mereka menyiapkan makanan. Beberapa warga tampak menyapa para karyawan. Kebetulan Ustadz Heri memang mempekerjakan pemuda-pemudi sekitar yang sedang menjadi pengangguran, hitung-hitung membantu keadaan ekonomi para pemuda-pemudi itu sendiri.

Bagian indoor kafe sudah penuh. Ada Nadif, Juni, Titin, Abyan, dan Gina pada bagian indoor. Selain mereka, ada juga Bulan di area outdoor pada sudut kafe, duduk seorang diri sambil bermain ponsel. Tak jauh dari Bulan, ada Tama dan sang papa yang diundang juga. Saat melihat Tama, Abyan merasa dunia itu sempit seolah bumi hanya berukuran 1x1 meter,

“Permisi, minumannya ibu, bapak. Untuk makanannya masih proses dimasak, ya.” Seorang karyawan wanita memberi lima buah gelas es teh manis lengkap dengan sedotan.

“Makasih, kak,” balas Juni, memberi senyuman pada karyawan itu. Selepas kepergian sang karyawan, Juni menengok pada Abyan yang hanya diam menatap lurus pada sudut luar kafe. Juni berusaha mencari apa yang sedang dilihat sang anak. Ia melipat dahi begitu melihat seorang remaja yang pernah ia lihat kala itu juga.

Dia cerita tentang banyak hal. Ngerasa agak struggle saat mau sosialisasi sama temen-temennya, perasaannya sekarang, bahkan nanya sesuatu ke aku, tapi untuk yang ini gak bisa aku ceritain. Katanya nanti dia mau cerita sendiri sama kamu," ungkap Astrid.

Juni teringat perkataan Astrid setengah bulan lalu. Entah mengapa pikirannya langsung tertuju pada perkataan Astrid, tetapi sepertinya yang ditanyakan Abyan pada psikiater itu berhubungan dengan remaja perempuan di sudut luar kafe, Bulan.

“Bun, ngeliatin apaan, sih?” tanya Nadif, mencari-cari apa yang tengah Juni lihat.

Juni tersadar. Ia menggeleng pelan. “Itu lampu-lampu hiasnya bagus banget.”

“Mau ayah beliin?” Keempat retina mata keduanya bertemu.

“Enggak, ah! Buat apaan? Nanti malah gak kepake kan sayang-sayang.”

“Ah … jadi sayang,” sahut Gina, memeluk Abyan.

Abyan melotot. “Kakak kenapa?”

Gina cengar-cengir, perlahan tangannya mengusap lembut pipi Abyan. “Gemes sama Aby.”

“Diliatin orang, malu,” cicit Abyan.

Gina malah semakin menjadi-jadi, kini ia mencium dahi Abyan. “Kenapa harus malu? Gapapa, kok!”

Abyan merasa wajahnya memanas. Ia menunduk seraya mengulum bibir bagian bawah.

“Aduh, lutuna,” kata Gina, menangkup kedua pipi merah sang adik.

“Kakak.” Abyan menggerung pelan, sesaat kemudian memeluk Gina karena malu.

“Cek, cek?” Selang beberapa menit, semua warga yang diundang sudah datang dan menduduki kursi masing-masing. Ustadz Heri kini memengang pangkal mikrofon, mulai membuka acara.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh! Selamat malam warga RT dua! Ketemu lagi saya, kenal dong siapa saya?”

“Kenal!”

“Basa-basi dulu ya, sebelum kita makan-makan.” Ustadz Heri menyunggingkan senyum ramah.

“Sebelumnya terima kasih untuk semua yang udah dateng. Makasihhh banyak ini mah! Makasih ya, pak, bu, adek-adek pemuda-pemudi udah mau nyempetin buat ke sini.”

“Ya selama ada makan gratis mah pasti kita dateng, ya, Jun?” bisik Titin pada Juni. Juni terkikik.

“Iya, bude.”

“Pada malam penuh rahmat ini, saya Heri Setiawan ingin berbagi rezeki atas tercapainya target selama membuka kafe. Alhamdulillah! Tanpa perlu lama-lama, kita buka dulu acaranya dengan basmalah. Bismillahirrahmanirrahim.”

“Nah, selanjutnya, kita tunggu semua makanannya jadi dulu, ya. Abis itu baru deh kita makan bareng-bareng. Maaf gak ada kuis-kuis atau seru-seruan lain, karena saya sendiri bingung mau main kuis apa. Hidup udah kebanyakan kuis yang harus saya pecahin sendiri.” Ustadz Heri mendapat sorakan setuju dari para warga.

“Lah jadi curhat,” celetuk Tama.

“Biarin aja. Jangan komplen, udah dikasih makanan gratis, Tam. Bersyukur,” sahut Timo.

Tama berdehem, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Matanya menyipit begitu melihat sahabatnya yang tengah meminum es teh.

“Aby?” gumam Tama.

“Mana?” tanya Timo, penasaran wajah sahabat baru sang anak.

Timo melipat dahi. “Bukannya papa nyimpen nomor Om Nadif?”

“Iya, simpen. Kenapa?”

“Emang Om Nadif gak pernah pasang foto Abyan di status atau foto profilnya, gitu?”

Timo menggeleng. “Dulu pernah, pas anaknya masih kecil. Tapi udah gak pernah lagi dari lama.”

Tama terdiam sejenak. Iris matanya bereaksi saat menyadari bahwa selama berteman dengan Abyan, Abyan selalu menghindar dari yang namanya berfoto. Apakah Abyan memang sejak dulu anti foto? Atau mungkin ada sebab lain? Lantas, kalau iya, apa sebabnya?

Bersambung.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang