Bab 26 : Obat yang Tak Kau Minum.

13 2 2
                                    

Pagi ini Juni sibuk sekali di dapur menyiapkan bekal untuk anak dan suaminya. Ia bangun kesiangan akibat semalam begadang menonton film kesukaannya yang tayang di televisi.

"Aby, jangan lupa minum obatnya!" pekik Juni dari dapur.

"Iya, bunda!"

Selang beberapa saat sang anak datang dengan pakaian sekolah hari Senin.

"Udah diminum?" Abyan mengangguk.

Di luar, Nadif tengah menyalakan mobil. Ia memakai pakaian kantor seperti biasa, rambutnya tertata rapi, bahkan semua pakaiannya tampak rapi. Selain bos, HRD juga harus menjadi salah satu panutan bagi orang di kantornya. Sebenarnya sih semua orang di kantor memang diwajibkan memakai pakaian yang rapi.

Juni dan Abyan keluar dari dalam rumah. Tangan kanan Juni membawa totebag berisi bekal untuk suaminya. Sementara untuk Abyan sudah dimasukkan ke dalam tas.

"Yah, ini." Juni menyerahkan bekal.

Nadif menyengir. "Makasih, bunda!"

"Bunda Aby berangkat."

Abyan menyalami tangan Juni lalu masuk dan duduk di bagian depan. Ia menengok, mendapati sang ibu dan ayahnya yang berpelukan erat. Abyan menghela napas, ia jadi teringat pada dua hari sebelumnya di mana Abyan memeluk Tama karena takut kucing.

Sepanjang perjalanan Abyan hanya termenung. Ia menatap sisi jalan yang sudah dipenuhi penjual dan pekerja yang berjalan kaki. Cukup lama Abyan seperti itu sampai sang ayah menyadarkannya bahwa sudah sampai di sekolah.

Abyan segera menyalami tangan Nadif dan turun dari mobil. Abyan berdiri di depan gerbang beberapa saat sampai mobil yang dikendarai sang ayah menghilang dari pandangannya. Ia kembali menghela napas, rasanya lelah bersekolah.

Melangkah gontai di lorong dengan pemikiran kosong membuat Abyan jadi seperti orang tanpa arah. Bahkan ia hampir mengira kelas lain adalah kelasnya, untung saja kelas itu tidak ada orang, jadi Abyan tidak malu-malu amat.

Semenjak dua hari terakhir ia masih memikirkan perihal orientasi seksual sahabatnya. Ia merasa takut untuk dekat dengan Tama walaupun sahabatnya sendiri sudah membantah. Hanya saja ... sulit untuk percaya. Situasi pemerkosaan berputar dalam benaknya secara tiba-tiba. Abyan terduduk lemas di kursi kelas, ia memejamkan mata seraya mengatur napasnya. Abyan berdecak, bukankah baru tadi pagi ia minum obat itu?

Semakin siang keadaannya perlahan membaik. Sudah bel istirahat, mereka mengobrol bersama, Ilal meledek Abyan perihal kucing, Abyan kesal, ditenangkan Tama, berulang seperti itu selama jam istirahat.

"Gak mungkin kan Aby kasih tau temen-temen Aby kalo Aby pernah diperkosa, punya PTSD?"

Abyan melipat dahinya. Kenapa dialog dirinya saat bersama kedua orang tuanya muncul secara tiba-tiba? Apa maksudnya? Alam bawah sadarnya menyuruhnya untuk memberitahu hal itu pada teman-temannya?

Abyan menggeleng. Tidak akan pernah ia memberitahu teman-teman tentang hal itu! Ia tidak ingin dikasihani hanya karena hal tersebut! Lagipula apa manfaatnya memberitahu kejadian kelamnya? Masa lalu jadi bisa diubah? Tidak 'kan?

Tama menyadari Abyan yang diam, menatap kosong ke depan. Ia melihat geraham Abyan mengeras bersamaan dengan jari-jemari yang mengepal. Tama melipat dahi, akhir-akhir ini Abyan sepertinya sedang banyak pikiran, mungkin juga banyak masalah?

"By? Lo kenapa?" Seketika semua pembicaraan yang sedang dibicarakan Ilal, Ismi, Bulan, Fajar, Saskia langsung terhenti. Semua atensi teralih pada Abyan yang kini masih diam.

"By." Tama menepuk pelan paha Abyan, sayangnya hal itu malah membuat Abyan terperanjat dan jatuh dari kursinya.

"Ayo main sama kakak."

"Nggak!" Abyan memekik begitu ia mendengar Nanda berbisik.

Tama dan teman-teman Abyan segera menolong Abyan untuk kembali duduk. Sementara Abyan, ia mulai menarik tas dari kolong meja dan membuka salang satu kantung tas kecil. Di sana lah ia meletakkan sebotol obatnya. Segera ia membuka dan meminumnya. Abyan menghela napas, ternyata ia salah jika berpikir untuk melewati jadwal minum obatnya-jadwal minum obat Abyan seminggu satu kali.

Tama mengambil botol itu. Ia mengamati tiap bagian dari botol.

"Ini ... obat-"

Abyan segera mengambil botol obat dari Tama, bergegas menutupnya dan memasukan kembali ke dalam tas.

"Lo kenapa?" tanya Tama, alisnya saling mendekat.

"Itu obat apaan, By?" tanya Ilal.

"Kamu sakit?" tanya Saskia.

Abyan mulai dicecar pertanyaan. Semakin lama semakin banyak lontaran pertanyaan dari teman-temannya, membuat Abyan risih dan beranjak menuju toilet. Ia lebih memilih membisu daripada harus menjawab pertanyaan teman-temannya.

Sampai di toilet, Abyan segera masuk ke dalam salah satu biliknya dan menguncinya. Abyan bersandar pada pintu yang ia kunci, jantungnya berdetak kencang bersamaan dengan kejadian di masa lalu yang berputar.

"Itu Byan?" tanya Abyan saat ia melihat foto wajahnya yang diedit dengan tubuh telanjang milik orang.

"Bagus gak?" Nanda bertanya balik, ia tersenyum sumringah.

Abyan menggeleng. "Nggak!"

"Akhirnya kita bisa main, Byan."

Abyan kembali menggeleng, napasnya tak karuan. "Nggak!"

Di luar pintu bilik ada Tama, Ilal, dan Fajar yang memanggil-manggil Abyan penuh kekhawatiran. Ketiganya menggedor-gedor pintu bilik.

Di dalam Abyan tidak mendengar panggilan dari luar. Telinganya hanya mendengar bisikan Nanda yang seolah berada di sekelilingnya. Abyan terus menggeleng, berkata tidak.

"Nggak! Pergi!" Abyan merosot dari pintu. Kini kedua kakinya tertekuk, jari-jemarinya saling ditautkan memeluk kaki. Sial! Kapan obat yang ia minum tadi bekerja?

Di luar toilet datang seorang satpam sambil membawa kunci bilik. Segera satpam itu membuka pintu dan mendapati Abyan yang terduduk lemas sambil menangis. Tama segera bersedeku, memeluk Abyan tanpa memperdulikan celananya yang berkemungkinan kotor.

"Lo telat minum obat?" tanya Tama.

Abyan tidak menjawab, ia memeluk Tama balik dengan tangan gemetar.

"Takut ...."

Tama semakin memeluk erat Abyan, mengusap punggung rapuh sahabatnya. Pagi ini, pukul 09.48 Tama menyadari bahwa Abyan berbeda dengan anak lain.

"Ada gue di sini, gapapa. Lo ada di tempat aman, lo aman sama gue," ucap Tama, ia meringis begitu mendapat cengkeraman di pergelangan tangannya oleh Abyan.

Abyan dibawa Tama ke ruang UKS. Di sana Abyan terduduk menunduk, ada juga teman-temannya yang berkumpul menemani. Pintu UKS terbuka, Juni datang bersama Gina. Tadi, saat Gina mendapat kabar dari Tama tentang Abyan, Gina langsung menelepon Juni.

Abyan menengok, bibirnya menghadap bawah seraya merentangkan kedua tangan, meminta dipeluk oleh sang ibu. Raut wajah Juni tampak kecewa, tetapi ia tetap memeluk anaknya.

"Maaf," sesal Abyan.

"Kenapa gak diminum?"

"Aby pengin minum besok, Aby pengin coba buat ganti jadwal obat jadi dua minggu sekali," tutur Abyan. Teman-teman Abyan melipat dahi, mereka tidak memahami apa yang sedang dibicarakan anak dan ibu di hadapan mereka.

"Sabar ... belum saatnya. Waktunya bukan sekarang. Aby masih dalam masa pemulihan, patuhin apa yang Dokter Astrid bilang!" kesal Juni, memeluk Abyan semakin erat. Juni tidak habis pikir dengan anaknya yang mencoba mengganti jadwal sesuka sang anak.

"Patuhin jadwalnya! Jangan gegabah!" lanjut Juni.

"Aby capek minum obat terus! Aby pengin juga kayak yang lain, Aby pengin sembuh! Aby capek sama penyakit ini! Obatnya pahit, gak enak! Udah empat tahun Aby minum, tapi belum sembuh juga! Aby capek ...."

Abyan melirih, semakin menangis setelah mengeluarkan apa yang dirasakannnya selama ini.

"Kalo lo capek, gapapa." Tama tiba-tiba menimpali, dari raut wajahnya menahan tangis. "Tapi lo harus tetep berjuang sampe pulih."

Bersambung.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang