Lika-liku jalan kehidupan...
"Aline? Kenapa kau mengakhiri hidupmu sendiri?"
Inilah kisah seorang gadis yang dibangkitkan dari keputus asaan, melawan rasa traumanya.
***
【TAHAP REVISI】
Typo masih bertebaran!
☺︎ Story by-my-self! ✍️
☺︎ Cover || Drawi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di sudut kota, sebuah bangunan kedai makan sederhana terlihat.
Ramai pengunjung yang datang, Aline yang seperti di mabuk asmara, bekerja dengan keras penuh tanggung jawab, ia selalu tersenyum ramah, melayani beberapa pengunjung dengan sangat baik. Rasa lelah harus dilawannya, demi mendapatkan gaji.
“Aline tolong antarkan pesanan ini untuk meja nomor tujuh ya.”
“Baik~” jawabnya bersemangat, mengambil semangkuk mie ayam pesanan pelanggan.
Ia berjalan, ke meja nomor tujuh. Pelayan lain menyapa pengunjung yang baru tiba.
“Selamat datang~”
Ia hendak kembali ke dapur, namun rekan pelayannya meminta tolong. “Aline, tolong layani pelanggan yang baru datang di meja nomor dua ya, aku mau membuat jus dulu.”
“Oke.” jawabnya, tak keberatan.
Belakang seorang pria terlihat, ia berjalan mendekat dengan santai membawa buku menu makanan. Tak sadar, pria yang dihampirinya adalah ayahnya sendiri, yang sengaja datang ke tempat kerjanya.
Bukan ayahnya jika tidak mencari informasi mengenai sesuatu yang berhubungan dengan putrinya, hingga alamat tempat kerja putrinya bisa diketahui pria paruh baya tersebut.
Senyuman Aline langsung memudar, ketakutan naik ke wajahnya, rona wajahnya terkuras habis, iapun memucat bak mayat hidup. Menu makanan nampak gemetar dipegangnya, lagi-lagi napasnya terasa sesak di dada. Ia mematung, ingin tumbang rasanya karena syok menerpa.
Mata sang ayah memicing, tersenyum lebar melihat putrinya.
Salah satu rekan pelayan datang, “Aline, kenapa diam saja?” ucap pelayan itu, “Pekerjaan kita masih banyak loh...”
Aline kesulitan bernafas, mulai berkeringat dingin.
Pelayan itu menatapnya, sedikit cemas. “Aline? kau tidak apa-apa?”
Ia mengingat Leomon yang mengajarinya mengatur nafas, iapun mencobanya perlahan, nampak tenanglah dirinya sudah, meski takut masih menyelimuti. Iapun mengangguk, menjawab pelayan itu. “A─Aku tidak apa-apa.”
“Yasudah! layani pria ini.” sahut pelayan itu.
Ia menelan ludah, menatap sang ayah dengan mata berkedut, panik.
“Maaf ya, Pak.!” ucap pelayan itu, meminta maaf, “Sudah membuat anda menunggu...”
Pelayan itupun menyuruh Aline segera mencatat pesanan yang diminta. Pelayan itupun pergi meninggalkan Aline bersama ayahnya.
Sang ayah memesan, dan ia mencatatnya dengan tangan yang masih gemetar.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Waktu yang berlalu begitu cepat membuat malam kembali tiba. Aline, ia bersiap untuk pulang. Kini sif malam akan diisi oleh kariawan lain.
“Oh, jadi dia ayahmu?” tanya seorang pelayan.
Dengan terpaksa, ia membuat lekuk senyuman kecil dan mengangguk.
“Pantas saja... kau yang disuruh bayar makanannya.” tambah pelayan lain. “Tapi sepertinya ayahmu orang yang baik, lihat... dia memberikan kami permen ini.”
Ia menatap permen kesukaannya yang ada di tangan rekan-rekan pelayannya. Tangannya langsung terkepal kuat, apa-apaan itu! Ayahnya mengumpulkan permen yang sangat ia sukai dari kecil, apa yang sebenarnya ayahnya inginkan.
Nampak rupanya kemana-mana sang ayah membawa permen di dalam saku jaketnya, untuk selalu mengingat putrinya. Begitupula semasa ayahnya masih di dekam di dalam penjara, ayahnya selalu meminta permen kesukaan Aline kepada petugas, sepertinya ayahnya menyimpan kenangan tersendiri untuk mengingat putrinya itu.
Tak mau berlama-lama, Alinepun berpamitan pergi. Ia berjalan keluar dari dalam kedai, berdiri di depan pintu.
Di kejauhan, seorang misterius lagi-lagi memperhatikannya dari dalam mobil sedan berwarna hitam.
Ia berjalan di jalan trotoar yang sepi, menuju ke hulte bus dengan perasaan cemas. Wajahnya masih sama, tidak ada ekspresi, senyuman tersembunyi di balik raut wajahnya yang datar, tatapan kosong, kepala yang dipenuhi pikiran membuatnya tak sadar jika seseorang mengikutinya dari belakang.
Terkejutlah ia, membesarkan mata, Ada tangan seseorang yang memeluk lehernya dari belakang, mulutnya tertutup tangan satunya oleh orang itu. Ia di seret pergi masuk ke gang sepi, tak jauh dari jalan besar yang di mana banyak mobil berlalu lalang.
Ingin ia berteriak, namun apa daya. Ia tak bisa, mulutnya tak bisa mengeluarkan suara.
Tibalah di gang yang sepi, ia didorong, dan menoleh spontan, melihat siapa yang menyeretnya.
Sontak ia terkejut, kakinya langsung melemas hingga ia terjatuh ke lantai.
“Kenapa kau mengabaikan aku selama ini haa.?!” teriak sang ayah, “Aku ini ayahmu, brengsek.!”