~~~~~
"Lo lagi ngapain?"
Ava menoleh ketika sedang merapikan meja kerja yang baginya tampak berantakan. Posisi tempat pensilnya miring sementara gunting dan stapler yang harusnya ada di laci masih tergeletak di meja. Tanpa mempedulikan Rida yang dengan santai dan tanpa dosa menempati kursi kosong di sebelahnya, Ava tersenyum puas mendapati semua alat tulis berwarna biru muda dan merahnya sudah berada di tempat yang seharusnya.
"Nggak perlu aku jawab, kan? Kamu udah liat sendiri."
Respon yang diberikan Rida adalah sebuah decakan. "Ya ampun, Va. Itu meja udah kayak display di Ikea saking rapinya, bahkan gue yakin seratus persen, jauh lebih rapian meja lo. Gue nggak tahu harus kagum apa ngeri liat meja lo kayak gini."
"Nggak ada kerjaan?" Ava dengan sengaja mengabaikan balasan Rida dengan mengajukan pertanyaan lain. Tidak peduli komentar serupa datang dari mana, Ava paling enggan menanggapi ucapan mengenai tendensinya merapikan segala hal supaya tampak teratur dan enak dipandang. Selain itu, baginya lebih gampang menemukan benda-benda tersebut jika dia memerlukannya.
"Kerjaan sih banyak, kayak lo nggak tahu aja. Tapi otak gue lagi mampet. Bosen di meja gue terus."
Ava menaikkan kedua alisnya. "Tumben. Biasanya ide kamu ngalir sampai bingung mau ngerjain yang mana." Jemari Ava dengan lihai memainkan tetikus di tangannya, mencari dengan teliti kalimat atau kata-kata yang mendapatkan catatan dari assistant editors Lemongrass, majalah kuliner tempatnya bekerja.
"Makanya gue ke sini. Siapa tahu liat meja lo yang rapi, otak gue bisa jalan lagi."
"Mau aku bantuin rapiin?" tawar Ava mengetahui alasan Rida sering menghampirinya adalah meja rekan sekantornya itu yang lebih mirip kapal pecah dibandingkan meja seorang graphic designer.
"Ogah!" tolak Rida dengan cepat. "Yang ada orang-orang di kantor pada heran nanti liat meja gue kayak meja lo. Berantakan itu bagian dari kreativitas, Va."
Ava mendengus pelan, bingung dengan alasan Rida yang menyamakan ketidakrapian dengan kreativitas.
Sama sekali nggak ada hubungannya, koreksinya dalam hati.
"By the way, lo denger gosip, nggak?" suara Rida memelan dan dia menggeser kursi yang didudukinya lebih dekat dengan Ava.
"Rida, aku nggak punya waktu ya buat dengerin gosip yang udah pasti nggak bener. Buang-buang waktu, tahu! Kamu mendingan cari ide, daripada nambah dosa nyebar gosi—"
"Ini soal Brama," potong Rida.
Nama itu berhasil memutus konsentrasi Ava. Kursor yang sedetik sebelumnya bergerak lincah, sekarang hanya berkedip di tempat yang sama. Dengan satu tarikan napas, Ava berusaha menahan geram dan mengalihkan tatapan dari layar komputer 24 inci yang sedari tadi menjadi fokusnya, ke arah Rida yang sekarang tersenyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foolish Games
ChickLitSebagai Virgo sejati, hidup Auva Zavijava tidak pernah lepas dari daftar tujuan yang ingin dicapainya dalam hidup. Sejak SMP, tidak ada satu pun mimpi Ava yang gagal diraih. Dia selalu mendapatkan semua yang didambakannya. Ketika posisi assistant e...