~~~
Ava tidak pernah menduga bahwa kepulangannya ke Jakarta justru menjadi titik balik hubungannya dengan Moga.
Mereka memang tidak lantas dekat dengan tiba-tiba atau rajin berkirim pesan, tetapi perlahan, pandangan Ava terhadap pria itu sedikit demi sedikit mulai bergeser. Terlebih ketika Moga menyambangi meja keluarga Ava di Il Gusto di Napoli dan dalam hitungan menit, sukses mengambil hati kedua orang tuanya. Sekalipun selepas itu Ava harus tahan menerima berbagai macam godaan yang dialamatkan kepadanya, dia tidak keberatan.
Seperti ketika Cara tanpa peringatan menyeretnya ke Metis sehari setelah mereka sampai di Bali, dengan Will yang hanya pasrah karena Cara dengan tegas melarang suaminya tersebut ikut. Ava tahu dengan pasti alasan Cara mengajaknya ke Metis, tapi dia tetap menuruti kemauan kakak perempuannya tersebut tanpa protes panjang.
"Pengen lihat Moga pakai baju chef, Dek. Pasti tambah ganteng."
"Oh, jadi ini alasan Mbak Cara ngelarang Will ikut? Supaya bisa ngecengin Moga dan bilang dia ganteng?"
Mendengar itu, Cara hanya berdecak. "Lho, itu fakta, kan? Masak cowok ganteng dibilang jelek. Itu namanya nggak mengapresiasi ciptaan Tuhan," balas Cara enteng. "Will nggak akan cemburu cuma karena aku bilang cowok lain ganteng karena ya nggak ada maksud apa-apa selain mengagumi makhluk Tuhan yang rupawan."
Ava hanya bisa menggeleng tanpa bisa menahan senyum menangkap rentetan kalimat tersebut. "Di mana ya nyari cowok yang nggak cemburuan kayak gitu?" tanya Ava asal.
"Makanya aku ngajakin kamu ke Metis berdua aja dulu. Besok-besok baru sama Will. Aku perlu investigasi soal Moga, nih. Siapa tahu kali ini usahaku sama Lyra berhasil."
"Mbak, yang kenal sama Moga duluan kan aku, kalian nggak punya kontribusi misalkan aku sama Moga jadian."
Membayangkan dirinya dan Moga menjadi sepasang kekasih adalah hal terabsurd yang bisa muncul dalam pikiran Ava. Dia memang tidak mengenal pria itu secara mendalam, tapi Ava yakin, ada terlalu banyak perbedaan yang mustahil untuk dijembatani di antara mereka. Ava bisa merasakan dirinya dan Moga bukanlah dua manusia yang ditakdirkan untuk bersama.
"Liat aja ya, nanti."
Setelah itu, tidak ada lagi obrolan mengenai Kastra Moga hingga mereka sampai di Metis Patisserie. Reaksi pertama yang diberikan Cara adalah memandang Ava dengan mulut sedikit terbuka.
"Ini gayanya kayak patisserie di Paris gitu, ya?"
Ava mengangguk. "Nggak cuma bangunannya, tapi juga menu-menunya. Moga memang pengen Metis mencerminkan dua dunia. Pastry atau makanan-makanan yang selama ini identik sama dunia Barat, dia gabungin sama Indonesia. Selain itu, dia juga mau mengapresiasi budaya orang tuanya. When his Mom passed away, his father married an Indonesian woman. Dari situlah ide Metis muncul, apalagi setelah dia sampai di Bali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Foolish Games
ChickLitSebagai Virgo sejati, hidup Auva Zavijava tidak pernah lepas dari daftar tujuan yang ingin dicapainya dalam hidup. Sejak SMP, tidak ada satu pun mimpi Ava yang gagal diraih. Dia selalu mendapatkan semua yang didambakannya. Ketika posisi assistant e...