~~~
Sejak bisa mengisi rekeningnya dengan hasil keringat sendiri, Ava ingat dengan pasti semua hari dirinya malas menginjakkan kaki di tempat kerja. Bukan karena dia punya ingatan super, tetapi karena dia menulis dengan detail alasannya. Ava menggunakan catatan tersebut sebagai reminder bahwa kemalasan tidak akan membawa mimpinya semakin dekat.
Hanya saja Senin itu, dia benar-benar berniat mangkir dari kantor karena suasana hatinya belum pulih dari kecewa. Jalan-jalan yang dicetuskan Sabrina gagal mengembalikan kepercayaan dirinya hingga tanpa sepengetahuan sahabatnya, dia menangis tiga malam berturut-turut. Beruntung logika segera menamparnya dengan keras. Ava tentu enggan dilabeli sebagai perempuan yang tidak bisa menerima fakta. Dengan hati yang diseret, dia memasuki lobi kantor dan mulai berakting di depan rekan-rekan kerjanya.
Semua demi nama profesionalitas.
Seperti biasa, Senin diawali dengan staff meeting. Jika biasanya Ava sudah mempersiapkan dan menulis semua ide dengan rapi disertai alasannya, kali ini agendanya kosong. Bahkan Rida yang duduk di sampingnya dengan mata membelalak menatap Ava, mungkin terkejut mendapati tidak adanya tulisan bullet point berbaris memenuhi satu halaman. Ava terlalu lelah memupuk keingintahuan rekan kerjanya. Dia lebih memilih diam.
"Lo nggak kenapa-kenapa, Va?" senggol Rida pelan. Dari suaranya, jelas sekali perempuan berkacamata tebal itu terdengar khawatir.
"I will be," balas Ava sekenanya.
Belum sempat Rida menanggapi, Brama sudah masuk ke ruangan. Ava menguatkan pegangan pulpen di tangannya tanpa sekali pun mengangkat wajah. Namun dari sudut matanya, dia mendapati senyuman sumringah pria itu. Ingin rasanya Ava meledak, tetapi dia melampiaskannya dengan semakin mencengkeram pulpen seolah ingin mematahkannya.
Jika bisa, Ava pasti sudah menjulurkan lidah sebagai cemoohan ketika Brama membuka mulut untuk mengucapkan terima kasih atas dukungan yang diberikan kepadanya. Bahkan pria itu dengan pura-pura—Ava sangat yakin Brama tidak serius dengan kata-kata manisnya—mengungkapkan dia masih memerlukan bimbingan. Ava menahan diri untuk tidak memutar bola matanya.
Meeting berlangsung cepat dengan Ava memilih lebih banyak diam. Menggunakan alasan gusinya terasa sedikit ngilu, Ava hanya mendengarkan rekan-rekan kerjanya saling melempar ide, sesuatu yang biasanya memantik diskusi yang menjadikan awal minggunya bergairah. Namun hanya hambar yang menghampiri Ava sampai meeting selesai. Ketika dia bersiap bangkit kembali ke meja kerja, suara Brama menahan langkahnya.
"Ava, bisa tinggal sebentar?"
Jika kalimat itu terlontar seminggu lalu, tanggapan pertama Ava pastilah menanyakan alasannya. Namun sekarang Brama resmi menjadi atasannya, yang berarti, ucapan pria itu adalah perintah yang harus dipatuhi. Ava mengangguk. Dia tidak menangkap tatapan memelas yang sempat diberikan Rida.
"How are you doing?"
Suara Brama terdengar lebih lantang karena hanya mereka berdua yang tertinggal di ruang meeting. Pria itu mengambil kursi kosong yang ada di seberang Ava sebelum memusatkan pandangan pada Ava yang masih menekuri agendanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foolish Games
ChickLitSebagai Virgo sejati, hidup Auva Zavijava tidak pernah lepas dari daftar tujuan yang ingin dicapainya dalam hidup. Sejak SMP, tidak ada satu pun mimpi Ava yang gagal diraih. Dia selalu mendapatkan semua yang didambakannya. Ketika posisi assistant e...