28 - NOIR OPERA

229 30 1
                                    


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Sejak sampai di Singapura kemarin sore, Ava langsung disibukkan dengan beberapa agenda yang dibawanya dari Bali. Tujuan utamanya adalah menghadiri soft opening sebuah restoran yang ada di Marina Bay Sands. Dari informasi yang didapatnya, restoran bernama Sage Velvet ini adalah restoran pertama milik salah satu chef kenamaan, Barry Reidstart, yang dibuka di Asia Tenggara.

Sempat terjadi argumen antara dirinya dan Brama karena Ava menilai sudah waktunya beberapa junior writer diberi kesempatan untuk meliput restoran-restoran dengan skala yang cukup besar. Mengingat pentingnya Sage Velvet, tidak ada penulis yang bisa mengemban assignment sepenting itu selain Ava. Alasan lain adalah Ava enggan meninggalkan Bali karena dia sedang menikmati waktu yang dihabiskannya bersama Moga. Namun tentu saja dia tidak bisa mengelak jika memang harus ditugaskan untuk pergi ke Singapura.

Begitu acara soft opening selesai, Ava tentu saja langsung memilih kembali ke hotel, yang hanya berjarak 15 menit berjalan kaki. Dia masih harus ada di Singapura hingga lusa karena besok Ava ada jadwal wawancara dengan Gerald Lesetter, seorang food journalist yang baru saja menerbitkan buku mengenai makanan-makanan unik dan tradisional yang sudah jarang sekali dibuat dari negara-negara yang dikunjunginya. Dia belum sempat beristirahat dengan layak sejak semalam, dan matanya benar-benar memaksa dipejamkan.

Ava sedang sibuk membalas pesan dari Moga yang menanyakannya tentang acara malam ini ketika sebuah suara yang sudah bertaun-tahun berusaha dia kunci rapat di dalam sebuah kotak, tiba-tiba memanggil namanya. Dia yakin tidak salah dengar karena hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan logat Inggris yang sangat kental.

Langkah Ava terhenti sementara pandangannya masih terpaku pada layar ponsel. Dia bisa berpura-pura tidak mendengarnya dan melanjutkan langkah, tetapi ada penasaran yang begitu besar memintanya untuk membalikkan badan. Memejamkan mata seraya menarik napas dalam, Ava akhirnya memutuskan bahwa dia harus menghadapi masa lalunya.

Begitu menoleh, semua yang ada di sekeliling Ava berhenti seketika. Satu-satunya yang dicapai fokus Ava adalah Charlie, yang berdiri sekitar lima jengkal dari tempatnya berdiri. Pria itu menatapnya lekat dengan senyum yang tidak lagi bisa diartikan Ava. Seluruh kenangan yang dimiliki Ava bersama Charlie berkelebat dengan cepat dalam pikirannya hingga pria jangkung tersebut yang kemudian memotong jarak di antara mereka.

"Ava, it is you!" seru Charlie yang terdengar begitu bersemangat. Mungkin dia lega karena tidak salah panggil. Dari sekian banyak orang yang berlalu-lalang, berapa persen kemungkinan dia berpapasan dengan Ava?

"Halo Charlie," sapa Ava.

Empat tahun ternyata tidak mengubah banyak fisik Charlie. Pria itu masih tampak menawan sekalipun hanya mengenakan kemeja biru muda yang lengannya digulung hingga siku dan dua kancing kemejanya sengaja dibuka. Tatapannya masih tajam seperti yang diingat Ava, seolah hanya dengan satu kata atau satu gerakan tubuh, Charlie bisa menebak semua isi pikiran dan hati Ava. Hanya kerutan tipis yang mulai menghiasi keningnya yang membuat tampilan Charlie sedikit berubah.

Foolish GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang