~~~
Pandangan Ava masih terpaku pada landasan runway yang sedikit basah sembari mengucapkan segala macam doa supaya kondisi cuaca tidak kembali memburuk. Hujan yang turun sepagian sempat membuat Ava ragu dan bahkan berniat membatalkan penerbangan. Dia mengusir ketakutan tersebut dan tetap pergi ke bandara meskipun digelayuti cemas.
Ketika duduk di ruang tunggu, hujan sudah meninggalkan gerimis, dan tidak lama kemudian, langit Bali berubah biru, seolah mendung dan hujan yang sebelumnya menghiasi, hanya berfungsi sebagai pajangan. Ava mengembuskan napas lega karena kekhawatirannya menguap dengan cepat. Dia tidak sabar bertemu kembali dengan Lyra yang akan menjemputnya nanti.
Dua bangku di sebelah Ava masih kosong, dan dia berharap kondisinya akan tetap seperti itu hingga pesawat lepas landas. Namun keinginan Ava tidak terwujud. Ketika dia menoleh, tatapannya bertabrakan dengan sepasang mata biru yang belakangan enggan lepas dari ingatannya. Reaksi pertama Ava adalah mengucapkan sumpah serapah sepelan mungkin.
"You've got to be kidding me."
Rupanya suaranya masih cukup bisa didengar Kastra Moga yang lantas menanggapinya dengan sebuah tawa renyah, seolah umpatan Ava terdengar menggelikan. "Hello, there."
Seakan mimpi buruk Ava masih belum cukup, Moga duduk di bangku bagian tengah padahal bangku yang ada di dekat aisle masih kosong. Ava mencengkeram pegangan pada kursinya karena tidak ada alasan apa pun yang bisa membuat flight attendant memindahkan tempat duduk Moga karena alasan keselamatan. Ava menelan ludah begitu menyadari dia harus menghabiskan dua jam duduk di samping pria terakhir yang ingin dijumpainya.
Sekarang Ava punya alasan kuat untuk tetap mengunci pandangannya dari jendela. Dia lebih baik memejamkan mata dibanding harus bersemuka dengan pria yang tampak santai dan tidak keberatan duduk di sebelah Ava. Dari ekor matanya, Ava menangkap Moga sudah mengenakan sabuk pengaman dan masih berusaha menemukan posisi duduk yang nyaman. Pria dengan tinggi badan seperti Moga pasti tersiksa harus duduk di bangku bagian tengah yang leg room-nya tidak cukup luas. Ava mengulum senyum menyadari hal itu.
"Saya percaya ini takdir. Kita selalu dipertemukan di tempat yang nggak terduga."
Ava masih berusaha memahami bagaimana Moga bisa berbahasa Indonesia tanpa diikuti logat Amerika yang kental. Baginya itu jauh lebih menarik untuk dicari tahu dibandingkan membalas kalimat yang diutarakan Moga.
Ketika lima menit—kurang lebih—berlalu tanpa ada respon dari Ava, sebuah kalimat lanjutan tertangkap telinganya.
"Anda akan diam sepanjang penerbangan? Apakah saya begitu melukai ego Anda sampai kita seperti dua orang yang saling dendam? Sebagai informasi, saya nggak ada dendam apa pun dengan Anda."
Ingin rasanya Ava menggeram sebal karena dia menduga, Moga tidak akan diam sebelum mendapatkan tanggapan darinya. Setelah menarik napas cukup panjang, Ava menyiapkan balasan tanpa harus memindahkan tatapannya darirunway.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foolish Games
ChickLitSebagai Virgo sejati, hidup Auva Zavijava tidak pernah lepas dari daftar tujuan yang ingin dicapainya dalam hidup. Sejak SMP, tidak ada satu pun mimpi Ava yang gagal diraih. Dia selalu mendapatkan semua yang didambakannya. Ketika posisi assistant e...