***
Pergi ke pusat perbelanjaan adalah satu kegiatan yang jarang dilakukan Ava ketika pindah ke Bali. Besar dan hidup di Jakarta membuatnya cukup bosan dengan atmosfer mal. Apalagi bagi Ava, tidak ada perbedaan mencolok antara mal yang satu dengan yang lain: semuanya menawarkan orang untuk menghabiskan uang. Dia lebih suka menelusuri kafe-kafe yang tersebar dan beragam di Bali atau duduk di salah satu restoran pinggir pantai. Baginya duduk di tempat-tempat seperti itu lebih memberinya kenyamanan dibandingkan duduk di mal. Dia hanya pergi ke mal jika memang ada yang harus dibelinya.
Seperti saat ini.Dia perlu membeli beberapa skincare yang memang sudah hampir habis, dan karena itu, dia mengajak Sabrina untuk menemaninya pergi ke Beachwalk. Rutinitas mereka biasanya hanya menyambangi beberapa toko, makan, kemudian pulang. Jika sedang dalam suasana hati yang baik, dia akan duduk di pantai Kuta yang letaknya memang berseberangan dengan Beachwalk. Namun karena ini hari Sabtu, semua sudut terlihat penuh oleh pengunjung dan menyaksikannya cukup menjadikan kepalanya pening.
"Gimana perkembangannya dengan chef ganteng pemilik Metis?" tanya Sabrina dengan nada menggoda yang dibuat-buat.
Mendengar pertanyaan itu, Ava hanya berdecak kecil. "Nggak ada yang aku simpen tentang Moga dari kamu, Bri. You know everything. Jadi selama aku nggak ada update, ya berarti nggak ada perkembangan apa-apa alias datar-datar aja." Ava memasukkan tiga botol cleanser ke dalam keranjang sebagai stok supaya tidak harus ke mal lagi jika yang digunakannya sudah habis. "Lagipula, aku nggak yakin juga kami akan ke mana-mana."
Dengan sebuah gelengan kecil, Sabrina menghentikan aksinya mengecek sunscreen yang kebetulan sedang ada diskon 10% demi memandang Ava. "Ava, aku tahu kamu bukan perempuan kemarin sore yang harus dikasih tahu arti dari setiap tindakan pria jika dia menunjukkan ketertarikan. You know very well that he is attracted to you. Orang bodoh pun bisa lihat."
"Lalu apa, Bri?" tanya Ava membalas tatapan Sabrina. "Aku nggak bisa pacaran tanpa ada tujuan yang jelas. Sedangkan aku dan Moga sama sekali nggak pernah ada omongan tentang itu—"
"Belum," sela Sabrina. "Kalian baru dua kali lho kencan, masih banyaklah kesempatan buat bahas sesuatu yang serius."
"Lalu gimana aku bisa tahu dia serius atau nggak kalau sama-sama nggak ada yang mulai?"
Membuang napas, Sabrina memegang kedua pundak Ava pelan seolah kesabarannya hampir mencapai batas. "Auva Zavijava, kerjaan kamu tiap hari adalah merangkai kalimat. Jadi aku nggak akan bikin tutorial atau daftar pertanyaan seperti apa yang perlu kamu ajukan ke Moga. Pancing dia, terapkan apa yang biasa kamu lakukan ke narasumber ke Moga. Bisa, kan?"
Ava berniat untuk protes, tapi dia mengurungkannya.
"Aku nggak pernah nyangka bahwa putusnya hubungan kamu sama Charlie dampaknya bakal sepanjang ini. Aku lihat kamu seperti takut melangkah, karena nggak mau kecewa. Kamu menghabiskan bertahun-tahun bersama Charlie, yakin bahwa dia adalah pria yang akan kamu nikahi, tapi kemudian kalian putus. It messed up your confidence when it comes to a relationship."
KAMU SEDANG MEMBACA
Foolish Games
ChickLitSebagai Virgo sejati, hidup Auva Zavijava tidak pernah lepas dari daftar tujuan yang ingin dicapainya dalam hidup. Sejak SMP, tidak ada satu pun mimpi Ava yang gagal diraih. Dia selalu mendapatkan semua yang didambakannya. Ketika posisi assistant e...