~~~~~
Hal pertama yang Ava lakukan begitu matanya terbuka adalah meraih ponsel dari atas nakas. Begitu menyadari dia terbangun sebelum alarmnya berbunyi, erangan pelan lolos dari mulutnya. Ponsel itu tertelungkup di samping bantal dengan suara berdebam ringan. Mendekap guling dengan erat, dia menatap nanar langit-langit kamar sembari mengingat lagi kejadian semalam.
Begitu menyadari yang dilakukannya justru membuang waktu, Ava bangkit meski digelayuti malas. Dengan dada yang masih menyisakan beban, dia duduk sebentar di tepi tempat tidur sebelum menggelung rambut panjangnya asal. Berjalan gontai, Ava menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Namun saat memandang bayangannya di cermin, dia mendengkus.
Matanya sembab karena menangis hebat sepulangnya dari pesta ulang tahun Lemongrass. Dia bahkan tidak ingat kapan tertidur. Melihat wajahnya seperti ini, dia berharap bumi menelannya dan menghilangkan jejaknya tanpa bekas. Dia tidak perlu pergi ke kantor Senin nanti, apalagi bertemu Brama.
Menyalakan keran air, Ava membasuh mukanya berkali-kali dengan air dingin sebelum dia menyikat gigi. Meraih handuk, dia mengeringkan air yang menempel di wajah. Otaknya memilah pilihan yang harus ditentukannya saat ini juga. Sayangnya hanya ada satu yang bisa dia lakukan.
Kembali ke kamar, Ava meraih ponselnya dan segera memencet nomor Sabrina, tidak mengindahkan notifikasi pesan-pesan yang masih belum terbuka atau melihat panggilan tidak terjawab yang memenuhi layar. Menelepon Sabrina adalah urgensi yang tidak lagi bisa ditunda barang sedetik. Menggelung tubuhnya di atas kasur, Ava mendengarkan dering panggilannya sebelum suara Sabrina muncul.
"Cuma satu alasan kamu telepon aku sepagi ini. Weekend pula. Nangis berapa jam semalem?" todong suara di seberang tanpa basa-basi.
"Nggak tahu," balas Ava dengan suara yang hampir habis. "Nggak penting."
"Kenapa lagi sih, Va? Nggak biasanya kamu nangis dua kali sebulan. Aku biasanya justru bertanya-tanya kalau kamu nggak nangis sampai berbulan-bulan. Yang bulan ini rapelan?"
Tanpa sadar, satu tawa kecil Ava lolos. "I didn't get the promotion, Bri. Brama got it."
Ava mengucapkannya kalimat itu dengan cepat. Lebih baik dia yang memuntahkan alasannya, berharap bisa melegakan sesak yang masih mengimpit dadanya. Dia mengantisipasi teori asal-asalan yang mungkin dilontarkan Sabrina karena ketahuan Ava sudah menangis dua kali dalam sebulan.
Cobaan terberat bagi Ava semalam adalah menjaga dirinya agar tetap terlihat tenang. Wajahnya memang melukiskan senyum, tangannya tidak absen dari tepuk tangan, dan mulutnya dengan manis mengucapkan selamat kepada Brama. Namun di dalam lubuk hati, ada marah, kecewa, dan sedih yang bergulat menjadi satu. Ava hanya tidak bisa meluapkannya di tempat pesta.
Baru ketika sampai di rumah, menanggalkan gaun berwarna merah marun, semua make up di wajahnya terhapus, dan hanya kesunyian yang mengelilingi, tangis Ava pecah sejadi-jadinya. Dia meraung sendiri, tanpa ada Sabrina atau pasangan yang mengelus punggungnya, membesarkan hatinya dengan mengatakan dia tidak gagal. Ava mengeluarkan segala macam emosi hingga dia tertidur tanpa sadar. Dia bahkan lupa menutup tirai kamar tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Foolish Games
ChickLitSebagai Virgo sejati, hidup Auva Zavijava tidak pernah lepas dari daftar tujuan yang ingin dicapainya dalam hidup. Sejak SMP, tidak ada satu pun mimpi Ava yang gagal diraih. Dia selalu mendapatkan semua yang didambakannya. Ketika posisi assistant e...