BAB 7. Pilu membiru

42 3 1
                                    

Hujan deras mengguyur kota sore ini. Membuat beberapa murid-murid SMA Nagasakti kebanyakan lebih memilih untuk menunda pulangnya. Namun banyak juga yang memilih menerobos derasnya hujan.

Berbeda dengan teman-temannya yang memilih menunggu diruang guru, Flora memilih keluar untuk melihat derasnya hujan sore ini. Ia menatap lurus kedepan, di depan kelas 11 Bahasa 1, ia pernah beberapa kali melihat Rasalas tertawa bersama teman-temannya. Atau barangkali hanya melihatnya sekilas melempar-lepar bola basket didepan kelas bersama teman-temannya.

"Ini sudah ditahun keempat semenjak kepergianmu Ras. Dan perasaan ini masih sama, tidak pernah berubah sedikitpun. Kamu pernah mengatakan sesuatu tentang hujan yang berkhianat dengan bumantara dan memilih bumi untuk singah, tapi anehnya kamu malah suka dengan hujan, begitu suka karena menurutmu, hujan itu indah."

"Dalam ingatanku, kamu benar. Hujan dan senja itu adalah satu keindahan. tetapi menurutku keduanya munafik, sama sepertiku. Berkumandang ihklas demi tidak membuat orang lain memandangku kasihan, padahal sebenarnya.. Ah! Rasanya aku ingin menemuimu. Memelukmu dengan erat dan tak akan pernah melepas genggaman tangamu saat hujan tiba, karena hujan malam itu tega memisahkan aku denganmu."

"Lucunya, aku belum sempat menjawabmu. Menjawab atas pertanyaan yang kini tak ada artinya. Ras, ternyata mencintaimu sejauh ini adalah seni sederhana untuk mengukir luka." 

Di sore yang sama diwaktu itu. Flora meneduh berdua dengan Rasalas di halte sekolahan. Akhir-akhir ini cuaca memang sulit dikenali. Siang tadi panas bukanmain, tetapi giliran bel pulang sekolah berbunyi, hujan mulai jatuh mengguyur bumi. Dan sebelum hujan turun begitu deras, Flora memilih untuk langsung menuju  halte, harap-harap angkot segera datang karena Elio tak lagi menjemputnya sebab sudah kembali ke Jogja. Namun baru saja ia duduk dihalte selang beberapa menit hujan begitu deras, dan lebih mengesalkan lagi, angkot yang biasa melewati indekosnya sudah penuh. Mau tak mau ia harus menunggu lebih lama lagi.

"Ck! coba aja gak hujan."

"Jangan nyalahin hujan."

Suara itu membuat Flora tersentak. Ia spontan menoleh menatap seseorang dengan seragam sekolah yang sudah tidak dikancingkan tengah memegang sebuah payung dan sedang mengupas permen milkita dengan susah payah.

"Hujan gak ngapa-ngapin lo kok disalahin." Cibirnya lagi. 

Bola mata Flora berotasi. Rasalas, lagi-lagi lelaki itu, padahal gara-gara Rasalas, kemarin ia sempat diceramahi habis-habisan oleh Elio agar memilih laki-laki yang benar untuk pasanganya. Padahal kan ia dan Rasalas juga baru saja kenal.

"Lo ngapain sih?" Tanya Flora dengan sedikit jengkel. Namun Rasalas tak perduli, ia malah menyodorkan permennya tadi pada Flora. "Ga usah galak-galak, sama cowok cakep tuh gak akan mempan."

"Merasa banget kalo cakep." Batin Flora sambil menatap geli pada Rasalas.

"Gue emang merasa, kenapa? Takut jatuh cinta?"

Mata Flora langsung melotot, bagaimana Rasalas bisa mendengar suara hatinya? Wah, tidak beres. "Lo--"

"Cakep. Dah, mau gak nih?"

Flora mendengus, "Gak."

"Yaudah." Dengan santai, Rasalas duduk disamping Flora. Kemudian Ia menggunakan payungnya untuk menutupi kaki Flora dari cipratan air yang membuat Flora langsung speecless. "Ap-paan sih?" Tanya Flora dengan gugup.

"Salting ya?" Pertanyaan bernada mengejek dari Rasalas membat Flora ingin sekali menenggelamkan lelaki itu dikubangan dekat halte. Belum lagi ekspresi mukanya yang membuat Flora ingin langsung mengusapnya dengan amplas.

"Dih." 

Rasalas terkekeh, kemudian ia meraih tangan Flora agar gadis itu memegang payungnya sendiri, " Gak enak kan kalo tangan gue tiba-tiba megang paha lo. Disangka gue mau grepe-grepe--"

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang