Bab 30. Tentang kita yang hampir merelakan.

18 1 0
                                    

"Jaya?"

Mereka bertujuh sontak menoleh pada ketiga laki-laki yang berdiri tak jauh dari posisi mereka yang baru saja datang.

Jaya bersama Aldo dan Raksa yang masih terlihat pucat dengan perban yang masih melilit di kepalanya juga tongkat penyangga di tangan kirinya membuat mereka bertanya-tanya.

"Kita gabung, boleh?" Tanya Jaya sekali lagi, beberapa dari mereka masih terpaku, bertanya-tanya siapa mereka?

"Itu bukannya anak kelas lo Flo?" Bisik Nash sambil melirik-lirik kearah Flora.

Tak menanggapi Nash, Flora tersenyum kearah mereka sambil mengangguk, "boleh Jay, Rasalas bakal seneng banget rumahnya ramai hari ini."

Ucapan Flora terdengar ceria namun mereka menangkapnya dengan sendu.
"Bay the way. Kok lo sama Raksa?"

Jaya spontan menoleh pada Raksa yang berdiri disampingnya, "dia.."

"Maaf."

Mereka semakin tidak paham saat Raksa yang tiba-tiba menangis, bahkan laki-laki itu langsung bersimpuh di depan makam Rasalas dan menangis tersedu-sedu.

"Maaf, maafin saya." Ujarnya dengan sesal.

"Loh, eh kenapa?" Tanya Olive yang dekat dengannya.

"Saya... Saya adiknya Kalan."
Mereka semua disana terkejut bukan main, terutama Flora, namun gadis itu lekas merubah ekspresi wajahnya.

"Saya mohon maaf sebesar-besarnya atas apa yang telah Kakak saya lakukan. Saya tau maaf tidak cukup untuk menebus dosa yang Kalan perbuat, tapi tolong Bu, Pak, semuanya maaf, maafin keluarga saya."

Hening, tak ada yang berani membuka suara. Raksa sudah panas dingin di tempatnya, belum lagi dia masih belum sehat betul. Namun ia siap menerima makian, atau bahkan serangan fisik. Ia rasa dirinya juga pantas mendapatkannya.

Flora berdiri dan mendekat pada Raksa, gadis itu berjongkok dan menepuk pundak lelaki itu dengan pelan.

"Sa, ini bukan salah kamu."

Ucapan Flora membuat Raksa yang masih sesenggukan lantas mendongak menatap gadis itu. "Kamu enggak perlu meminta maaf seperti ini, yang salah bukan kamu Sa."

"Tapi Kalan keluarga saya Bu. Dan keluarga saya juga yang membiarkan Kalan bebas selama ini."

Ucapan Raksa memang benar, namun anak itu hanya menanggung getahnya. Kalan dan keluarganya yang berbuat, Raksa tak tahu apapun.

"Sekarang Kakak kamu juga sudah bertanggung jawab. Hukumannya pasti setimpal."

Aldo yang sendari tadi diam ikut berjongkok di samping Flora. "Gue juga minta maaf, gue sebagai sahabatnya Kalan malah ikut nutupin ini semua. Gue gak mikirin bagaimana perasaan mereka yang ditinggalkan."

Flora terdiam, sesaat ia berfikir. Apakah ia pantas berada di posisi ini? Sedangkan ia dan Rasalas hanya sebatas teman.
"Gue gak berhak apapun buat maafin atau enggaknya, gue bukan siapa-siapanya Rasalas. Yang berhak itu keluarganya, gue--"

"Tapi lo orang spesialnya Rasalas Flo." Potong Jaya sambil menatap Flora dengan sendu.

"Lo juga berhak untuk ini. Semua--"

"Kalau gitu kenapa kita gak saling memaafkan aja? Gue enggak mau denger lagi Jay, gue mau selesai hari ini juga."

Jaya tau, menjadi Flora tidak mudah. Ia tahu Flora peka dengan perasaan Rasalas dulu. Bukan hanya peka, Jaya tau Flora memang menaruh rasa pasa sahabatnya.

"Hari ini, Rasalas Digant Akarsana, hanya akan menjadi kenangan, dan itu mutlak."

"Jangan ada lagi yang kaya gini, cukup. Jangan pernah pergi tanpa pamit. Karena hal itu lebih menyakitkan dari rasa kecewa."

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang