Ditengah malam ditemani sepi, suasana kamar indekos mereka remang-remang karena hanya cahaya bulan yang hanya sepersekian masuk menerangi ruangan yang diisi Flora dan kedua temannya. Namun Flora tak bisa tidur disaat teman-temannya sudah melanglang buana kedalam mimpi.
Ia menekuk lututnya dibalik selimut sepelan mungkin agar kedua temannya yang tidur disisi kiri dan kanannya tidak terbangun. Ia dekap erat bahunya seerat mungkin. Tak ada rasa sakit ditubuhnya, ia tak merasakan sakit apapun, tetapi ia merasa separuh dirinya kembali kosong.
Ia merasa dirinya ada yang salah, tentu saja. Ia mengira akan segampang itu untuk melewati semua kenangannya dengan mudah, namun ternyata hanya dalam beberapa hari, ia menyadari sebuah kekeliruan.
Mungkin, saat ditingalkan Ayahnya dulu, Flora tak tahu apa-apa. Bahkan rasa sakitnya tak begitu terasa karena ia memang masih anak-anak. Saat itu ia hanya tahu rasa senang karena banyak orang yang datang ke rumahnya, ia bahkan bisa tertawa dan bermain dengan anak-anaknya tetangga yang seusia dengannya. Setelahnya pula, ia hanya mengira Ayahnya pergi untuk sesaat, dan semakin tahun, ia melupakannya karena Elio selalu ada untuknya. Ibunya juga tak henti selalu menemaninya sehingga membuatnya lupa dengan kemana perginya Ayahnya saat itu hingga ia dewasa barulah ia tahu, jika Ayahnya tak akan pernah kembali.
Flora bisa ikhlas, Flora bisa mengerti. Entah karena telah tahunan, entah karena ia kehilangan kenangan masa kecilnya, atau karena peran Elio. Kepergian Ayahnya tak begitu membekas rasa sakit meski saat ia paham, ia merasa kehilangan.
Flora pernah berfikir, mungkin Tuhan marah karena ia tertawa di pemakaman Ayahnya dulu. Maka dari itu Tuhan mengambil Rasalas sebagai gantinya agar Flora tahu rasa sakitnya ditinggalkan.
Ia membenamkan wajahnya pada lipatan tangannya dengan rasa sesak yang kembali membuncah di dadanya. Semacam sebuah mimpi buruk, malam itu ia kembali teringat bagaimana hancurnya perasaan saat ia membuka sebuah kain putih dengan seseorang yang ia sayangi menutup rapat matanya dengan rona pucat telah merenggut wajah berserinya.
"Flo, hidup itu dinamis. Kita bebas dengan segala hal, makanya kita hidup diatur supaya tahu batas-batas kebebasan itu."
Rasalas itu spesies manusia sengklek tapi sekalinya memberi petuah, beuh, Flora akui Bang Elio saja kalah. Dan kalimat itu adalah kalimat terakhir diakhir pertemuannya kala itu.
Dan kini ia paham, batas kebebasan itu banyak hal, salah satunya batas untuk rasa ikhlas dan menerima dengan tulus tanpa perlu diungkit-ungkit kembali kenangan-kenangan yang telah terjadi.Namun sayangnya, Flora belum bisa melakukannya.
Rindu yang menekan batin Flora hanya sebuah utasan rindu yang tak bisa diutarakan langsung. Raga Rasalas tak lagi bisa ia dekap, parasnya tak lagi bisa temui di manapun. Flora akui, Rasalas memang sudah pergi untuk selamanya, namun kenangannya tak akan pernah bisa pergi barang sejengkal dari ingatannya.
"Kalau kamu pergi. Bukan jumantara yang sedih Ras, tapi aku. Bentala senang kau kembali kepangkuannya, tapi apa kau tak kasihan dengan ku? Ditertawakan bumantara jika aku menangisimu sepanjang waktu, mengenangmu sepanjang malam, dan berharap konyol sepanjang hari?"
Bukan lagi kalau, Rasalas memang sudah pergi. Ia terkekeh pedih dengan isi hatinya, ia mencoba tidak terisak meski dadanya benar-benar sakit menahan tangis.
Entah, bahkan Flora sendiri menjadi tak yakin, bisakah ia melewati semua luka-luka itu?
****
"Selamat pagi anak-anak."
Semua siswa kelas 11 Bahasa 3 langsung menempatkan diri ditempat duduk masing-masing saat Bu Rina. Guru bahasa Indonesia itu masuk kedalam kelas, namun pandangan mereka tertuju pada seseorang dengan jas almamater yang berjalan dibelakang guru tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
12. Bumantara dengan Lukanya
Ficción GeneralBukan cerita tentang seseorang bernama Bumantara, tetapi Ini hanya bagaimana kalian mengenal Rasalas Digant Akarsana dalam sebuah ingatan. "Kalau kamu pergi. Bukan jumantara yang sedih Ras, tapi aku. Bentala senang kau kembali kepangkuannya, tapi ap...