BAB 6. Si Senja itu

32 3 0
                                    

Jangan katakan tentang rindu padaku.
Senja telah mengajariku betapa sabarnya ia menanti Purnama yang hanya datang dua belas kali dalam semusim. Dan jangan katakan tentang sakit hati pula, senja lebih tahu rasanya sebuah penantian yang tiada arti karena pertemuanya dengan Purnama hanya sekedar saling sapa tanpa makna. Tetapi ia tetap menanti meski nyata-nyata Purnama lebih memilih Seirios.

Jari jemari Flora berhenti mengetik diatas Keyboardnya. Ia adalah si senja itu, sayangnya tak ada lagi purnama yang ia tunggu. Purnamanya telah lama menghilang, bukan lebih memilih si seirios ataupun eleanor, tetapi purnamanya telah meredup untuk selamanya.

Setahu Flora, ia pernah membaca beberapa kutipan tentang senja. Jika senja bisa mengajari tentang apa artinya sebuah penantian penuh rindu. Senja bisa mengajari arti sebuah sabar tanpa batas karena penantiannya. Dan kini ia mengerti.

Namun lagi-lagi ia di sadarkan, ia adalah si senja yang selalu sendiri tanpa purnama, mentari, ataupun eleanor. Ia adalah senja yang menanti fajar. Sangat tidak mungkin untuk berjumpa, sangat tidak mungkin untuk berharap temu, dan sangat tidak mungkin untuk berharap sekedar saling sapa.

Ia adalah si senja yang sesungguhnya. Senja yang kesepian dengan sejuta penantian yang abstrak.

Flora memejamkan matanya, berharap mendapat sapaan ingatannya yang ia rindukan meski ia sadar semakin ia mengingatnya ia akan terus terluka.

Kring!!!

Bel pulang sekolah berbunyi dan langsung disambut pekikan girang para siswa siswi yang sudah lelah otak seharian penuh bergulat dengan mata pelajaran. Flora pun begitu, gadis itu bergegas keluar kelas bersama temannya.
"Flo, lo pernah mikir gak sih? Kak Daffa ternyata sebucin itu." Ucapan dari Adhisti, temannya itu membuat Flora mencari-cari keberadaan Daffa yang notabennya adalah kakak kelasnya.

Dan di sisi kiri lapangan basket. Ia melihat keduanya tengah bercanda berdua tanpa perduli siapapun yang melihat.

"Yeh, lo gak tau aja. Kemarin mereka hujan-hujanan bareng di lapangan, speechless gue liatnya." Jawab Flora.

"Serius? Gilak sih. Kak Mia doang yang berhasil buat  cewek-cewek Nagasaki patah hati."

"Elo kali, gue mah enggak. Lo gak tahu sih kalo Mas Daffa lagi marah kaya apa, ngeri." Adhisti terkekeh, selama ini ia memang hanya melihat keseharian Daffa yang memang lelaki itu terlihat baik, "Emang Kak Daffa bisa marah?"

Flora hanya bisa geleng-geleng tak mengerti, mengapa mereka bisa terpesona dengan Daffa?

"Pagi cantik, pulang bareng yuk."

Keduanya langsung tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang muncul dari dalam kelas. Adhisti langsung berkacak pinggang sambil bercedak. "Ck! Ras-Ras Pagi?lu kira adzan ashar tadi adzan subuh heh! Makanya sekolah tuh buat belajar bukan buat tidur."

"Shut! Gue gak ajak lo balik. Gue ajak sohib lo, napa lo yang sewot." Sahut Rasalas tak terima. Flora yang melihat temannya malah beradu argumen dengan Rasalas hanya bisa tertawa. Keduanya jika dipertemukan memang tak pernah ada kata damai.

"Sewot-sewot, elo tuh yang banyak omong."

"Rasalas emang tukang banyak bacot, ya gak Nat?"
"Yoi Than." Rasalas langsung melotot pada kedua temannya, mereka memang tak bisa diajak kompromi.
"Lo berdua temennya siapa sih hah?"

"Elu brow!"

Rasalas tidak perduli dengan mereka, ia beralih menatap Flora.
"Kita kan udah ditakdirkan berjodoh nih. Jadi gue sebagai calon yang baik harus menghantarkan calon bini gue dengan selamat."

Flora geli mendengar ucapan nyeleneh dari Rasalas. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu, bertegur sapa pun hanya sesekali.
"Eh, anak keong! Gak usah ganggu sobat gue ya lo." Serka Adhisti sembari menarik Flora kebelakang badannya.

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang