Benar-benar tak terasa, 3 tahun benar-benar sudah berlalu. Jalan tak nampak lagi sama seperti dulu saat Flora datang ke sebuah tempat pemakaman umum disana. Dengan sebuket bunga krisan di pelukannya, Flora turun dari sebuah taksi tepat di depan sebuah TPU.
Angin melambai wajahnya begitu ia menatap kearah pemakaman, nampak juga beberapa orang tengah berziarah disana, ia tak satu-satunya orang yang yang kehilangan.
Ia langkahkan kakinya masuk kedalam pemakaman, disana, tak jauh dari tempatnya berdiri tepat di bawah pohon kamboja sebuah makam ber-epitaf hitam langsung menarik perhatiannya. Dengan perasaan yang campur aduk, setelah memantapkan diri 3 tahun lamanya, ia berani untuk mengunjungi tempat peristirahatan terakhir seseorang yang berarti di hidupnya.Rasalas Digant Akarsana
Bin Muhammad Harto Akarsana
Lahir, 14 Februari 2002
Wafat, 18 Agustus 2020"Hai."
Sapa Flora pada angin yang menerpanya. Kemudian ia beralih menatap epitaf itu dengan senyumnya.
"Ras, aku disini."Flora lekas berjongkok dan menaruh bunga krisan diatas makam tersebut. Tak lupa juga ia mencabuti beberapa rumput yang panjang disana, kemudian ia siram dengan air mawar yang ia bawa. Ia usap epitaf hitam itu, kemudian ia duduk menyampingi makam itu dengan menekuk kedua kakinya.
Hening, jaraknya jauh dari orang-orang tadi membuat Flora sedikit lebih memiliki ruang antaranya dan ia merasa Rasalas hadir disana.
"Maaf ya, aku baru datang." Ujarnya lagi."Aku gak berani buat ketemu sama kamu dari saat itu."
Kemudian Flora terdiam sesaat sembari mengusap rumput hijau diatas makam tersebut, dan tak ia sangkal perasaannya kembali hancur seperti dulu. Air matanya mulai meleleh saat ia berusaha mengingat suara Rasalas kala itu. Rindunya mendesak secara paksa didalam batinnya.
"Tau gak Ras? Aku balik ke sekolahan kita. Gak banyak yang berubah, Bu Elsa masih aja galak, kelas Bahasa tetep jadi favoritnya anak seni. Bahkan namamu masih wangi disana Ras." Flora tersenyum tipis. "Ras, ada anak dikelasku yang mirip sama kamu. Mirip banget, sampai aku kira dia adik kamu, tapi kamu pernah bilang kalau cuma punya abang, dan kamu gak mau punya adik." Lagi-lagi ia kembali terdiam, lalu sesaat ia teringat."Ah, aku masih simpan puisi elegi yang kamu tulis waktu itu." Lanjutnya sambil mengeluarkan secarik kertas lusuh dari dalam tasnya.
Masih terlihat dengan jelas, tulisan tangan Rasalas yang tidak terlalu rapi, ya tulisannya persis seperti kebanyakan anak laki-laki pada umumnya.
Sore itu, langit sedang bagus-bagusnya, kebetulan juga disekolah tengah ada kegiatan LDK untuk anggota osis baru. Dan saat itu beberapa kelas berpartisipasi dalam acara tersebut untuk mengisi pada bagian pentas seni. Begitupun Rasalas dan Flora, di kelas mereka masing-masing keduanya dipilih untuk mewakili kelas mereka. Rasalas membaca puisi dan Flora bernyanyi dengan 2 teman laki-lakinya.
Jujur Flora terkesima dengan pembacaan puisi yang Rasalas bawakan. Tak ragu jika lelaki itu memang lihai dalam berbagai bidang. Puisi itu Rasalas ciptakan sendiri, Flora tahu karena puisi asli tulisan lelaki itu sudah ia terima dua hari lalu.
"Lihat, ini puisi yang bakal gue bawain nanti pas pensi LDK." Ujar Rasalas sambil menyerahkan selembar kertas pada Flora.
"Kelas lo mau nampilih baca puisi?" Tanya Flora sambil menerima kertas itu.
"Iya, anak-anak maksa. Biar lain daripada yang lain, kalo nyanyi kan udah banyak tuh, jadi mereka usul buat baca puisi aja. Kampretnya gue yang di tumbalin." Flora terkekeh mendengarnya, kemudian matanya menelisik tiap-tiap kata yang Rasalas goreskan pada kertas tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
12. Bumantara dengan Lukanya
General FictionBukan cerita tentang seseorang bernama Bumantara, tetapi Ini hanya bagaimana kalian mengenal Rasalas Digant Akarsana dalam sebuah ingatan. "Kalau kamu pergi. Bukan jumantara yang sedih Ras, tapi aku. Bentala senang kau kembali kepangkuannya, tapi ap...