BAB 2. Kepada dia yang telah pergi

45 5 0
                                    

Elio masuk kedalam kamar Flora saat terlihat gadis itu sendari tadi wira-wiri tidak jelas. Lelaki itu langsung duduk dikursi belajar Flora tanpa mau membantu Flora yang masih sibuk memasukkan baju-baju kedalam koper.

"Cielah! Yang mau KKN, sibuk amat Bu."
Mata Flora langsung memincing menatap Elio dengan tatapan tajam. "Bantuin kek, jangan ngoceh aja."
Elio langsung terkekeh tanpa suara. Ia langsung menghampiri Flora dan membantu adiknya memasukkan baju-baju kedalam koper.

"Bh udah belum?"
"Astaghfirullah Abang. Mesum bat otak lo." Elio tertawa mendengar jawaban Flora, "Gue kan mengingatkan adik kecil."

"Pala lo adik kecil." Cibir Flora sambil terus melipat baju-bajunya. Elio tak menyahutinya lagi, ia mengamati barang bawaan Flora, takut-takut seumpamanya ada barang yang belum terbawa oleh adiknya.

"Lo enggak papa balik kesana lagi?" Tanya Elio dengan nada serius. Flora spontan terdiam sesaat.
"Apaan sih lo Bang." Sahut Flora ketus.

"Enggak usah bohong lo sama gue. Gue tanya sekali lagi, lo enggak papa balik kesana lagi?"

"Gapapa, puas lo."
Elio terdiam. Ia kenal Flora lebih dari siapapun, ia tahu jika pasti ada yang mengganjal dihati Flora untuk kembali.

"Kalo ada apa-apa, kalo lo enggak nyaman. Lo langsung telfon gue, gue langsung kesana jemput lo pulang. Gue enggak mau lihat Flora empat tahun lalu balik lagi."

"Abang apaan sihh?" Rengek Flora, tiba-tiba ia merasa berat hati. Tiga bulan memang waktu yang singkat, tapi untuk tidak bertemu dengan Elio ia rasa akan menjadi waktu yang panjang.
Ia langsung meletakkan bajunya di kasur, kemudian berhambur memeluk Elio yang tidak siap bahkan sampai lelaki itu hampir terjengkang.

"Astaghfirullah Flo. Inget lo udah gede!"
Flora tidak perduli, meski menyebalkan, Elio adalah satu-satunya orang yang pernah membelanya habis-habisan, satu-satunya laki-laki yang tidak pernah menyakiti hatinya, dan satu-satunya lelaki yang paling ia sayangi.

"Makasih ya Bang. Udah jadi Kakak sekaligus ayah buat Flo. Flo tahu, Flo sering bantah Abang. Tapi jangan tinggalin Flora, Bang. Cukup dua laki-laki aja yang ninggalin Flora gitu aja, Abang jangan."

Elio menepuk-nepuk pelan bahu Flora, ia kecup singkat kening adiknya. Ia tahu persis bagaimana hancurnya Flora saat itu, kehilangan laki-laki yang paling berpengaruh dalam hidupnya. Mungkin saat kematian Ayahnya dulu Flora masih tak tahu apa-apa karena saat itu Flora masih berusia 5 tahun, tetapi Elio sangat tahu saat Flora besar, rasa kesepian itu akan terasa.

"Tapi Flo. Gue pengen nikah."

"Abang anj!"

****
Anggota kelompok 7 sudah hampir semua datang di kampus untuk menuju tempat KKN. Mereka akan berangkat dari Jogja menuju lokasi menggunakan mobil Arsen, dan kini mereka masih menunggu Olive yang katanya terjebak macet, yah memang rumah Olive lah yang paling jauh diantara mereka, jadi mau tak mau mereka memang harus bersabar.

"Heh Sen, lo bawa banyak nyawa ya hari ini. Jan ngebut-ngebut."
Arsen tahu itu hanya candaan dari Saros, dan lelaki itu hanya mengangguk-angguk mengerti.

"Emang elo Ros, SIM modal nembak lagi." Cibir Nash sambil tertawa.
"Heh anj! Gue nembak SIM-nya sama lo juga." Sahut Saros tak mau kalah. "Lah, iya juga."

"Ga jelas lo berdua." Cibir Flora sambil mengambil pose selfie bersama Alora.

"Selpa selpi, kek orang sukses lo." Cibir Saros yang langsung dilirik sinis oleh mereka berdua.
"Enggak usah sok akrab lo." Cibiran Alora membuat Saros langsung memegangi dadanya mendramatis.

"Semacam ujung belati menusuk relung hatiku mendengar mulutmu yang tajam menghujam." Jawab Saros mendramatis. Nash yang melihat itu menambahi dramatis dengan mengusap kepala Saros. "Sabar anak muda."

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang