Bab 29. Bumantara dengan lukanya

23 2 0
                                    

Aku bertanya-tanya, apakah orang yang sudah meninggal itu bisa ber reinkarnasi? Lalu apa mereka bisa mengingat kembali kehidupan sebelumnya?

Konyol, tapi aku masih berharap bisa bertemu dengannya meski hanya lewat mimpi.

Katanya, setiap orang ada masanya, setiap kenangan bisa termakan waktu. Tapi bagaimana untuk kenangan yang menyakitkan? Negara ini belum mempunyai alat canggih untuk menghapus ingatan seperti didalam novel milik Tere Liye itu kah? Aku ingin mencobanya.

Tapi semesta mengajarkanku tetang luka dengan benar, rasa sakitnya begitu menyiksa sehingga membuatku lebih bisa berfikir luas. Luka ini akan aku peluk, kenangan itu tak akan pernah aku lupakan. Aku akan berjalan dengan keduanya, bumantaraku dengan lukanya akan ku akhiri hari ini.

Aku lelah soal kehilangan. Ayah, Rasalas, dan Adhisti yang meningalkanku. Ayah pergi seolah tanpa luka, tapi nyatanya sosok Ayah selalu aku rindukan. Adhisti, sahabat satu-satunya yang aku punya, kini kita asing, padahal dulu dia yang maju paling depan untuk segalanya. Dan Rasalas..

Rasalas Digant Akarsana adalah pelajaran yang nyata. Aku tak begitu mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan sosok ayah karena aku masih kecil, pun aku yang punya Abang yang selalu ada layaknya seorang ayah, membuatku tak begitu merasakan sakit atas kehilangannya. Namun Rasalas, aku tak mempunyai siapapun sebagai gantinya.

Semilir angin dengan wangi dari bunga krisan yang Flora pegang menambah kesan duka di makam yang telah di tumbuhi oleh rumput hijau itu. Ramai orang yang megelilinginya membuat makam sepetak itu terlihat sesak.

"Gue sekarang punya banyak temen Ras, gak kaya dulu, kemana-mana kalo gak sama lo, ya sama Adhisti. Gue udah enggak kesepian lagi, bahkan abang-abang lo, gue kenal semua." Ujar Flora sambil meletakkan bunga Krisan itu diatas aka Rasalas.

"Kita di sini ngumpul buat lo. Lo pasti asing sama beberapa orang disini." lanjutnya, kemudian ia beralih menatap teman-temannya.

"Gue kenalin gimana? Anggap aja Rasalas ada di sini."

Anggukan dari mereka membuat Flora tersenyum senang.

"Samping kiri gue ada Mas Daffa, lo gak lupa kan? Ketua Osis favorit lo dulu." 

Daffa yang diperkenalkan lebih dahulu langsung menyiramkan air mawar pada epitaf hitam itu. "Sendal-sendal lo, masih di sekolahan Ras, sering dipake anak-anak kalau mau wudhu."

Flora terkekeh mendengarnya, iya dulu Rasalas sering memakai sandal yang berujung di sita oleh anggota osis. "Disamping kanan gue, ada Alora. Bantu aamiin-in ya, katanya dia suka sama Mas Daffa."

Kompak, mereka semua yang ada di sana langsung tertawa. Tentu saja hal itu bukan lagi hal rahasia, Daffa juga tidak mepersalahkannya, namun tetap ia hanya menganggap Alora sebagai teman. "Jangan Ras, lo di kibulin saa Flora."

"Fine! Oke lanjut."

"Disampingnya Mas Daffa, ada Mas Arsen. dia 11/12 lah sama kaya Mas Daffa kalau kata gue."

Arsen terkekeh, "gue lebih ganteng dari Daffa sih Ras, lo setuju kan?"

"Narsis." cibir Daffa sambil terkekeh.

"Kalau dulu kita punya kembar Natha-Nathan biang rusuh. Sekarang gue punya Nash-Saros yang enggak kembar tapi gilanya sama." Jelas Flora sambil menunjuk Nash dan Saros yang berada di depannya.

"Dan satu lagi, Olive. Mungkin kalau kalian ketemu bakal cocok deh, Rasalas juga pernah bawa pulang kucing jalanan dan dia rawat. Sayangnya kucingnya udah ikut tuannya."

Olive langsung memasang muka sedih, "kucingnya pasti sedih karena di tingal sendiri, makanya dia ikut."

Flora terkekeh, "mungkin aja Ra."

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang