Bab 15. Kepingan-kepingan.

24 1 0
                                    

Flora pernah membaca satu kutipan kalimat yang lewat di Instagramnya seperti ini kurang lebih.

Suatu hari kamu akan sembuh dan kamu akan berada di suatu tempat, tempat dimana segalanya terasa benar. Hatimu tenang, jiwamu menyala, pikiranmu positif, visimu jelas, iman kamu lebih kuat dari sebelumnya, dan kamu merasa damai. Berdamai dengan tempat kamu berada. Damai dengan apa yang telah kamu alami dan damai dengan tujuan kamu.

Flora yakin, ribuan orang telah membacanya, ribuan orang telah memaknainya, dan ribuan orang telah tentram hatinya membaca kalimat-kalimat tersebut. Namun mengapa tidak dengan dirinya? Atau malah ia sendiri yang tak bisa memaknai kata-kata itu. Atau lagi ia yang tak bisa menenangkan hatinya sendiri. Namun bodohnya ia percaya bahwa luka itu tak akan bisa sembuh.

"Bagus ya?" Tanya Rasalas sesaat mereka sampai di roof top rumah sakit dimana Daffa dirawat. Waktu menunjukkan pukul setengah enam, dan senja hari ini sedang bagus-bagusnya.

"Hm, tapi gue masih sedih." Sahut Flora sambil mengamati indahnya langit sore ini.

"Kenapa?"
"Mas Daffa loh, yang deket sama dia Kak Mia tapi yang patah hati satu sekolahan."
Rasalas tertawa mendengarnya, ia acak rambut Flora dengan gemas, sambil berujar. "Kalo seumpama aku yang diposisi Kak Daffa, lo juga bakal sedih gak?"
Spontan Flora melirik Rasalas sambil mencebik. "Amit-amit, dan gak akan."

"Halah, ntar gak bisa move on." Cibir Rasalas sambil terkekeh.
Flora tak menjawab, ia menikmati angin sepoi-sepoi menerpanya, ditambah penampakan langit dengan gradasi warna oranye berpadu dengan ungu, putih, dan biru membuatnya benar-benar takjub.
"Apa gue yang ngerasa senja hari ini bagus banget?" Ujar Flora membuat Rasalas tersenyum tipis. "Sebab lo lihatnya sama cowok ganteng."

Flora terkekeh mendengarnya, "Sok, ngerasa banget." Cibirnya.

Mereka kembali terdiam, perlahan-lahan guratnya lekas berubah, Rasalas kembali tersenyum sambil berujar. "Seperti biasa, dia tahu cara berpamitan dengan indah."

Flora menoleh pada Rasalas, jika di lihat-lihat lelaki itu memang tampan seperti yang teman-temannya bilang. Rahangnya yang tegas, kulitnya yang putih, alisnya yang tebal dan jangan lupakan ikonik dari Rasalas ada rambutnya, panjang menutup dahi dengan belahan tengah persis seperti Na Jaemin yang sering di bicarakan oleh Adhisti.

"Gue pengen deh jadi langit. Entah jadi senjanya, hujannya, fajarnya, atau birunya. Dia bebas."

Rasalas terkekeh mendengarnya, "Tapi Flo, hidup itu dinamis. Kita juga bebas dengan segala hal, tapi kita hidup diatur supaya tahu batas-batas kebebasan itu."
"Buktinya, kita bisa ngelakuin apapun yang kita mau, tapi akal kita yang batasi harus seperti apa dan mau sampai kapan."

Flora tersenyum mendengarnya, "Iya ya."

Setelahnya mereka terdiam. Senja semakin pudar diganti dengan rembulan dan beberapa bintang yang mulai muncul.
"Ras."

"Hm?" Rasalas menoleh kearah Flora. "Apa?" Rasalas menyerit heran saat Flora malah menggeleng tak jadi mengeluarkan kata-kata. Kemudian ia tersenyum jahil.
"Terpesona kan lo sama ketampanan gue."

"Bisa gak sih? Lo gak usah kepedean?" Cibir Flora.

"Hahaha, ayo balik. Jangan mentang-mentang anak kos lo bisa pulang seenaknya." Ajak Rasalas sambil menarik tangan Flora pelan dan lekas meninggalkan tempat itu.

"Iri bilang aja lo." Cibir gadis itu sambil melepaskan tangan Rasalas dari pergelangan tangannya.

"Astaghfirullahalazimm."
Flora tertawa, dan ia berjalan keluar roof top mendahului Rasalas.

****

Flora kembali memenuhi pangilan kepolisian untuk kembali membahas tentan kasus yang ia tanyaka beberapa waktu lalu. Gadis itu melangkah masuk ke dalam kantor polisi, tak sesekali ia juga menyapa beberapa polisi yang ia lewati. Sampai ia menemui Iptu Nugroho di salah satu meja disana, ia duduk di depan Iptu Nugroho saat ia dipersilahkan untuk duduk.

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang