Bab 27. Penyesalan dan penyesalan

15 1 0
                                    

Hujan kembali turun sore itu. Suaranya membuat ruangan itu terlihat sesak di isi 7 orang di dalamnya,  mereka melanjutkan mengobrol di ruangan Iptu Nugroho untuk sekedar saling mengenal. Semuanya ada di sana, Elio, Flora, Ardo, Arsen, Saros, dan Alora. Tatapan Flora terlihat kosong mebuat Elio yang duduk disampingnya menatap adiknya dengan khawatir. 

"Saya enggak ada hubungan apa-apa sama Rasalas."

Entah sudah jawaban ke berapa kali yang Flora lontarkan untuk menjawab siapa dirinya dan hubungannya dengan Rasalas.
"Tapi move on aja gak bisa." Arsen langsung mendapatkan cubitan di pinggangnya dari Flora.

"Maaf, saya buat kamu menunggu." Ujar Iptu Nugroho.

Flora menatap Iptu Nugroho dengan tatapan bertanya-tanya.
"Saya sudah tau kamu dari lama, semenjak adik saya tidak ada." lanjutnya.

Flora masih juga terdiam. "Bukan hanya kamu, kami selama ini juga enggak tinggal diam. Tapi belum sempat saya bergerak lebih banyak, pelaku menyerahkan diri. Menyusahkan."

Ardo terkekeh mendengar ucapan Iptu Nugroho, kemudian ia beralih menatap Flora yang tak juga membuka suara. "Makasih Flo, lo jaga kepercayan adek gue sampai sekarang."

"Tunggu-tunggu, ini gue masih enggak paham. Jadi anda berdua ini bersaudara?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Saros yang dari tadi masih bingung dengan keadaan di sana.

Lalu Iptu Nugroho menganggukinya. "Benar, dan Rasalas adik bungsu kami."

Lelaki paruh baya itu terlihat napak lelah, gurat kesedihan ketara di wajahnya yang terlihat tegas itu, "dia seusia Flora, dan di usianya yang ke 15, dia di vonis kanker otak. Kami dari keluarga berusaha sebaik mungkin buat kesembuhannya  dan satu tahun pengobatan, dia di nyatakan sembuh tapi ternyata penyakit itu kambuh lagi dan tidak dapat di sembuhkan. Orang tua kita memilih untuk bekerja di luar negri karena biaya pengobatan Rasalas tidak sedikit. Dan saya yang bertangung jawab atas kedua adik saya ketika orang tua saya pergi."

"Dia anaknya bandel, beda sama Ardo. Rasalas itu banyak tingkah." Lanjutnya sambil melirik Ardo yang diam menyimak di sampingnya.

"Saya lalai menjaga adik saya, ditambah tugas saya di luar provinsi membuat saya tidak bisa langsung memantau adik-adik saya."

"Diam-diam anak itu mengurangi pengobatannya sendiri tanpa sepengetahuan Ardo dan saya karena mendaftarkan diri sebagai pendonor organ."

Ada rasa amarah yang tertahan di raut wajah Iptu Nugroho. "Bukan saya tidak senang, hanya saja saya tidak siap untuk kehilangan adik saya."

"Saya sama enggak terimanya sama kamu Flo ketika mendengar adik saya pergi karena kecelakaan waktu itu. Saya dan keluarga saya mengusahakan supaya adik saya sembuh, tapi Tuhan punya takdir lain."

Semua yang di sana hanya bisa terdiam mendegar penjelasan dari Iptu Nugroho. "Penyesalan? Marah? Tentu, saya juga manusia, dan semua yang di tinggalkan adik saya pasti merasakan hal yang sama."

Hujan semakin deras memecah keheningan didalam sana dengan perasaan mereka masing-masing. 

"Tetapi, siap tidak siap. Saya harus merelakan kepergian adik saya. Dan itu juga berlaku untuk mereka yang di tinggal kan."

Flora menunduk dalam, ia tahu hari ini akan tiba. Ia juga tak mau menginkari ucapannya sendiri, ia juga tidak mau Rasalas tidak tenang disana karena dirinya yang terus menyesal karena tak sempat bisa memiliki hati lelaki itu seutuhnya, dan terus dibayang bayangi kata perandaian selama ini.

"Pelaku akan dijatuhi hukuman seadil-adilnya. Dan tak ada lagi alasan untuk tidak melupakan Rasalas demi melanjukan hidup, bukan begitu Flo?"

Flora mendongak, matanya menatap wajah Iptu Nugroho dan Ardo secara bergantian. Sesaat, ia teringat wajah Rasalas. Perpaduan antara wajah keduanya sama persis dengan paras lelaki itu. 

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang