Bab 21. Takdir yang tak adil

21 1 0
                                    

Kehilangan adalah hal yang Flora benci, namun semuanya meninggalkannya tanpa mau tau apa yang akan ia rasakan nanti.
Saat masih sekolah dulu, rasanya Flora adalah wanita paling bahagia karena mempunyai seorang laki-laki yang benar-benar memperlakukannya dengan baik, meski ia sering kali bersikap angkuh karena mementingkan ego daripada perasaannya.

Rasalas, entah berapa juta kata yang mampu Flora utarakan untuk menggambarkan betapa ia merindukan sosoknya. Lelaki yang membawanya pada hari-hari yang baru dari hari-harinya yang membosankan.

Sore itu, sepuluh hari sebelum Rasalas benar-benar pergi. Flora mengetahui satu fakta yang laki-laki itu sembunyikan. Fakta yang membuatnya hampir putus asa untuk kesekian kalinya.

"Flo, kalau gue pergi. Lo gapapa kan?"

Tawa Flora yang awalnya begitu riang langsung hilang mengudara. Rasalas kadang memang sulit di tebak, lelaki itu bisa membuatnya tertawa paling kencang, namun juga bisa langsung membuatnya menangis dalam satu waktu.

"Lo mau ngomong apa lagi?"

Senyum Rasalas terlihat begitu tulus dimata Flora, namun senyum itu menggambarkan getir tak terkira untuk Rasalas sendiri.
Rasalas usap kepalanya sendiri sehingga mendapatkan beberapa helai rambutnya yang rontok dengan mudahnya.

"Maaf, sebenarnya gue gak mau kaya gini. Gue gak main-main sama perasaan ke lo. Tapi Tuhan punya jalan lain buat takdir gue Flo."

"Gue sakit, kanker otak stadium 3." "Sebenarnya udah lama, tapi gue berusaha untuk tetap hidup. Gue mau hidup lebih lama, gue tau bukan dokter yang bisa tau gue hidup sampai kapan. Tapi, kalau hal itu terjadi gue mau disaat gue pergi nanti, gue siap."

"Ras-"

"Makasih ya, lo jadi salah satu alasan gue untuk tetap bertahan sampai sejauh ini. Kita emang belum lama bertemu, tapi dipertemuan kita dan di moment itu gue ngerasa gue pantes hidup lebih lama karenanya."

Rasalas mengusap kepala Flora dengan senyumnya yang tak hilang dari bibirnya yang ranum. "Cuma lo dan keluarga gue yang tau soal ini, temen-temen gue gak ada yang tau. Dan kenapa gue bilang sama lo, karena gue gak mau, suatu saat nanti gue malah nyakitin lo dengan kepergian gue yang mungkin secara tiba-tiba."

"Gue gak mau membebani orang-orang yang gue tinggal nanti, gue gak mau berhutang budi, karena gue yakin, gue gak akan bisa balesnya."

Air mata Flora yang sudah menggenang di pelupuk matanya meluruh tanpa diminta.
"Lo jahat Ras, lo manusia paling jahat yang gue temui."

"Maaf." Jawab lelaki itu sambil mengusap air mata Flora dengan ibu jarinya.

"Terus kalau lo pergi, gue gimana?" Ujar Flora dengan lirih.

"Maaf."

Flora memukul pundak Rasalas sambil berteriak, "KALAU LO PERGI, SIAPA YANG AJAK GUE BICARA LAGI!"

"Lo enggak boleh pergi Ras." Lanjutnya dengan isakan yang tak lagi bisa ia tahan.

Rasalas membawa Flora dalam dekapannya, ia dekap gadis itu dengan erat, "maaf, gue egois sama perasaan gue sendiri. Gue taunya cuma cari masalah, maaf."

Flora melepaskan dekapannya, kemudian ia mencengkeram lengan Rasalas sambil menatap lelaki itu dengan perasaannya yang kian hancur. "Kemarin lo bilang, lo suka sama gue. Dan lo bakal nunggu gue suka sama lo balik, kalau saat itu datang, gue gimana?"

"Maaf Flo."

"Gue jatuh cinta sendiri? Gue berharap sendiri? Tanpa ada lo? Begitu?"

"Maaf-"

"GUE GAK BUTUH MAAF LO RAS!" Teriak Flora sambil menggoyangkan tubuh Rasalas sampai lelaki itu mundur beberapa langkah.

"Sembuh, lo bisa sembuh. Dokter itu gak bisa ambil nyawa lo."

Lagi-lagi Rasalas hanya bisa tersenyum, "gue gak bisa janji. Tapi gue usahain, doain ya."

Flora menubruk tubuh Rasalas lalu mendekapnya erat. Ia benamkan wajahnya pada dada bidang Rasalas untuk meluapkan rasa sedihnya. "Beri gue waktu Ras."

"Beri gue waktu untuk jatuh cinta dengan benar sama lo."

****
Arsen, Daffa, dan Flora berjalan beriringan pada sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli beberapa keperluan mereka untuk seminggu kedepan. Ketiganya sudah membawa beberapa kantong plastik yang berisi begitu banyak barang-barang yang akan mereka gunakan nanti.

"Mas Daffa, beberapa waktu lalu gue ketemu sama Jaya." Tiba-tiba Flora mengingat hal itu.

"Jaya?" Jawab Daffa.

"Iya, temennya Rasalas. Inget?"

"Oh, iya. Gue inget, bukannya dia pindah setelah Rasalas pergi?"

Flora mengangguk membenarkan, "sebenernya ini rahasia. Tapi gue gak tau lagi harus gimana."

"Gimana?" Tanya Daffa yang penasaran.

"Orang terakhir yang hubungi Rasalas itu Jaya. Dia yang minta jemput di rumah temennya di malam itu."

Raut wajah terkejut begitu ketara pada wajah Daffa, lelaki itu menatap Flora dengan tatapan tak percaya. Sedangkan Arsen hanya diam menyimak, karena memang ia tak kenal siapa saja yang disebutkan oleh mereka berdua.

"Gak ada yang tahu soal ini Mas, cuma gue, sama abangnya Rasalas yang tau. Log panggilannya sengaja Kak Ardo hapus, karena dia gak mau Jaya jadi sasaran disalah-salahkan sama anak-anak."

"Dan terakhir ketemu gue. Dia masih sama, dia masih ngerasa bersalah."
"Padahal, kalau aja gue bisa tahan Rasalas buat enggak pergi. Mungkin dia gak berakhir disana. Gue akan siap menyambut kepergiannya."

"Lo siap menyambut? Maksudnya?" Tanya Arsen yang sedikit janggal dengan ucapan Flora.

Gadis itu mengangguk, "Rasalas sakit Mas. Dia sakit kanker otak stadium 3, rahasia lagi kan? Padahal orangnya udah lama pergi."

"Gue sempet di pamitin sama dia, makanya gue bilang, gue akan siap menyambut kepergiannya." Lanjutnya.

Arsen dan Daffa sama-sama saling bertatapan. Tataban iba dan kasihan yang mereka punya langsung mengarah pada Flora, lagi-lagi luka gadis itu semakin mereka tahu, semakin lebar pula lukanya.

"Tapi malah perginya kaya gitu, kan enggak adil."
"Tuhan udah kasih dia penyakit, dan dia mau berusaha untuk sembuh, tapi Tuhan tetap mau dia mati. Memang apa salah Rasalas? Bersikap sok baik? Enggak, Rasalas emang baik. Meski agak nyeleneh gitu orangnya."

"Atau, Rasalas itu terlalu munafik dan egois, tapi kan dia cuma pengen kaya remaja kebanyakannya. Mengenal cinta, banyak teman, menikmati masa putih abu-abu. Apa yang salah?"

"Gue emang salah satu orang yang awalnya nyalahin Jaya, tapi setelah gue sadar, Jaya enggak salah. Tapi orang itu yang kurang ajar. Gue bahkan sampai gak tau seberapa besar dosa gue karena terlalu benci sama orang itu."

Flora membuang nafasnya kasar, setiap membicarakan tentang Rasalas, emosinya selalu tak terkendali. Rasanya seperti ia benar-benar akan menghabisi orang itu dengan tangannya sendiri baru ia bisa melepaskan Rasalas dengan mudah.

"Flo, kasusnya kan juga udah di buka lagi. Gue yakin pelakunya juga udah tau soal itu, cepat atau lambat, pasti pelaku itu akan ketemu." Ujar Arsen mencoba menenangkannya.

"Kenapa gak dari dulu gitu. Katanya Indonesia negara hukum, tapi untuk kasus kaya gini dipersulit, memang seberpengaruh apa orang itu? Dia layak hidup? Tapi kenapa orang lain mati? Sial, enggak adil." Jawab Flora sambil terkekeh kesal.

"Tau gak Flo, bui bukan satu-satunya tempat untuk menghukum orang-orang seperti itu, dan lo mau tau hukuman paling pantas untuk orang-orang seperti itu apa?" Ujar Daffa sambil menatap Flora dari samping.

"Apa?" Tanya Flora.

"Hidup dalam ketakutan, ketidak tenangan, dan selalu merasa bersalah."

____

Hai ges, eyaaa lagi pengen spam update nih cihuyy kiw kiw😂

Jangan lupa vote dan komen ya sayang-sayang ku. Love u sekebonn

Wonogiri, 17 Desember 2023

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang