BAB 10. Lekat

24 2 0
                                    

Menyayangimu adalah soal keikhlasan. Flora pernah mendengarnya dari seseorang, dulu. Saat semua masih baik-baik saja, dan kini ia mengerti arti kalimat itu, bahwasanya akhir dari sebuah rasa cinta memang sebuah rasa ikhlas. Namun, iklhas untuk kepergiannya memang memang tak seberapa dari iklhas untuk semua kenangannya. Kenangan yang tak begitu banyak, namun begitu berarti.

Rasalas, tak ada hal lagi yang bisa menggambarkan sosoknya bagi Flora. Ingatannya perlahan memudar, parasnya, suaranya, sosoknya, hampir hilang ditelan masa pada ingatan Flora. Tetapi Rasalas sama sekali tak bisa tergantikan tempatnya dihati Flora, entah sampai kapan rasa itu akan Flora simpan rapat.

"Sebernya, lo sedeket apa sama dia sampai saat ini lo belum bisa lupain Rasalas Flo?"

Di semester ketiga, saat Rasalas menjadi buah bibir di kampusnya karena adik dari ketua BEM yang Flora tentang saat itu, Alora sempat menanyakannya.

"Rasalas itu ibarat tempat, tempat baru yang buat gue betah berada di dalamnya."

Yah, kalimat sederhananya seperti itu. Lekat di ingatannya, Rasalas pernah gamblang menyebut dirinya sebuah rumah untuk Flora. 

"Lo tenang aja, kalo mau nangis, ya tinggal nangis. Tapi lo juga harus tahu kalo hidup kadang harus di ketawain.  Tenang gue bisa jadi rumah buat lo Flo."

Ucapan anak SMA saat itu yang bodohnya Flora percayai. Yah, namanya juga manusia, apa lagi saat-saat itu ia benar-benar merasa paling tersakiti di dunia ini. Merasa paling terhina, merasa paling jatuh, dan merasa paling tidak di mengerti. Yah, lagi-lagi Flora ingat saat-saat itu, tapi kini ia lebih paham. Ia lebih dewasa untuk menghadapi masalah, hm memang apa yang diketahui anak usia 17 tahun saat itu, tahunya hanya menyalahkan keadaan saja. Bukan begitu?

Jangankan bulanan, tahunan pun tak mampu membuat Flora lepas dari bayang-bayang Rasalas. Bahkan diawal-awalnya ia selalu berhalusinasi jika Rasalas mendatanginya dan mengatakan "Flo, gue enggak pergi kemana-mana, gue selalu disamping lo."

Andai, andai saja seperti itu. Tidak ada yang meminta seperti itu padanya, tapi nalurinya mengatakan Rasalas selalu di sampingnya.

Dijalan persimpangan yang ramai sore ini, Flora kembali untuk beberapa tahun setelah kejadian itu. Membawa sebuket bunga mawar merah dengan perasaan yang campur aduk. Flora berdiri di tepi jalanan seorang diri, menghela nafas seolah memantapkan diri kembali ketempat dimana Rasalas menghianati janjinya untuk selalu berada di samping dirinya dengan jawaban yang masih ia genggam hingga saat ini.

"Ras, maaf. Aku belum bisa menemuimu."

Flora melempar buket itu di tengah jalan. Jalan yang merebut Rasalas darinya. Bunga itu hancur saat sebuah truck melindasnya, kelopak-kelopaknya bertaburan di jalanan. Flora menatap itu dengan tatapan datar. Andai lagi, malam itu ia berhasil menahan Rasalas untuk tidak keluar, andai Jaya tak rewel minta jemput di gym. Mungkin Rasalas masih bersamanya saat ini, atau andai setidaknya orang yang membuat Rasalas meninggal ditangkap lalu diberi sangsi yang setimpal. Mungkin Flora sedikit bisa ikhlas.

Isakan pelan keluar dari bibir Flora, bunga mawar itu tak lagi berbentuk, hancur seperti hatinya. Bahkan saking takutnya Flora dengan rasa sakit itu, ia sama sekali tak pernah mengunjungi makam Rasalas setelah pemakamannya. Flora takut, jika Rasalas tahu sampai saat ini ia belum bisa melupakannya, ia belum bisa mengikhlaskannya dan ia belum bisa menerima kepergiannya dengan nyata.

"Ini semua hanya mimpi, dan ada yang salah. Aku ingin kamu mengatakannya seperti saat itu."

Flora ingin menemui Rasalas, ingin sekali sampai ia takut  tak akan bisa melepaskan Rasalas seperti semestinya.

****
Kalan masuk kedalam rumah dengan keadaan mabuk. Raksa yang baru saja keluar kamar dan mendapati Kakaknya dalam keadaan seperti itu hanya berdecak malas dan sebisa mungkin menghindarinya. Namun sayang, Kalan lebih dahulu melihat Raksa.

12. Bumantara dengan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang