Izin Tinggal & Anniversary

7.8K 846 39
                                    

Kapan terakhir kali Eros pulang ke rumah dengan keadaan tenang tanpa tangisan Shua atau rengekannya? Sepertinya hampir 3 atau 4 bulan lalu, sebelum Musa ahli merangkak dan sekarang berjalan dengan koordinasi kaki dan tangan yang masih sering lepas kontrol.

Sebagai hasilnya, Shua yang sedang senang-senangnya punya rambut panjang dan dikuncir dengan ikat rambut berkarakter menjadi sasaran empuk geplakan ataupun tarikkan tanpa sengaja.

Jadi, ketika menginjakkan kaki di dalam rumah dan terdengar suara Shua yang melengking, ia sudah tahu pelakunya.

Di ruang bermain, Shua tengah memegangi salah satu kuncirnya yang longgar dengan air mata menggenang sementara si pelaku duduk berseberangan dengan kedua mata melotot keheranan.

Istrinya yang masih mengenakan setelan kerja tadi pagi berusaha bersabar dengan mengembuskan napasnya perlahan sambil memangku si sulung.

"Kakak kenapa?" tanya Eros sambil meletakkan tas kerjanya di luar ruang bermain.

"Dijambak sama Adek!" jawabnya setengah berteriak sambil menunjuk Musa yang kini memaju mundurkan mainan bisnya. "Sakit!"

"Uh, Aka ... ait," Musa menunjuk Shua dan memegang kepalanya sendiri, memberi tahu bahwa sang kakak menangis karena sakir.

"Ya kan kamu yang bikin Kakak nangis, Dek."

Meski begitu Eros tetap memangku Musa, menghadapkannya dengan sang kakak yang kini menyembunyikan wajahnya di antara dada sang ibu, yang mana Eros juga ingin melakukannya setelah seharian ini melakukan 3 operasi besar menguras tenaga.

Anak sepuluh bulan yang bicaranya saja belum jelas tidak akan mungkin bisa dinasehati, kalaupun mereka mengangguk, mereka tidak bisa mengartikannya. Secara lisan amat mustahil membicarakan ini dengan Musa.

"Dek, kalau kamu mau panggil Kakak, caranya gini," Eros menyentuh pundak Shua, menepuknya pelan, "Kakak, lihat sini dong," ucapnya. "Kakak."

Melihat kakaknya tak kunjung memberi respon, Musa menunjuk, "Aka weh, ka eh!"

"Apa? Kakak boleh?"

"Tuh! Eh!"

"Nggak boleh?"

"Eh, kak, ba, tut!"

Eros menyerah. "Nggak jelas, semoga harimu menyenangkan, Tuan Muda."

Kegiatan mereka setelah memiliki dua anak terbilang cukup terjadwal, bangun pagi dengan tangisan dan juga diakhiri dengan tangisan. Terutama Shua yang sedang dalam fase tidak ingin diganggu sementara Musa menganggap bahwa kakaknya adalah obyek menyenangkan.

Pukul setengah satu malam, setelah membersihkan wajahnya, Eros masuk ke balik selimut, memeluk pinggul istrinya. "Cha, aku capek, mau peluk!"

Ursa yang masih melihat laporan keuangan bulan ini di layar tab membuka lengannya, mempersilakan tempat bagi ia bersandar. "Hari kamu gimana? Capek?"

"Enggak sih, cuma kayaknya kita harus ubah gaya sentuhan kita ke Kakak deh," buka Ursa. "Selama ini kita nunjukin sayang ke Kakak itu dengan cium kepala dan diusap kan. Mungkin itu juga kenapa Adek lebih milih buat tabok dan jambak kepala Kakak sebagai ungkapan sayang."

"Masuk akal, mau mulai usap pundak dan cium pipi aja?" Eros mencontohkannya dengan mengusap pundak Ursa kemudian mengecupnya singkat sebelum mengigit gemas.

"Iya. Kayaknya tangannya Adek lebih gampang kalo ke pundak, ya? Tadi aku sempet tanya-tanya ke Sashi sih, cuma ya ... Aru sama Sheya dan Shena kan lumayan jauh jaraknya, jadi Aru lebih memaklumi dan Si Kembar nih cewek, cenderung lebih lembut. Sementara Adek ... habis kejedot aja dia ketawa-tawa."

"Masokis kayaknya yang ini, mana ngomongnya bahasa alien lagi."

"Kayak ayahnya sih," Ursa mencubit punggung tangan Eros yang sudah terselip di antara kedua paha Ursa, mengusap hingga baju tidur yang dikenakannya terangkat. "Tadi Sina ke sini."

"Oh, ya? Ngapain?" Eros menempelkan bibirnya ke leher Ursa, mengecup kecil hingga ke bagian telinga yang menjadi titik sensitif istrinya.

"Nanyain kapan konser anniversary karier Bapak bisa dilanjut? Tahun ini sudah 55 tahun." Berkali-kali Ursa harus menjeda kalimatnya lantaran takut akan mengeluarkan suara aneh yang terlalu keras. "Mas."

"Nanti aku omongin ke Sina," kini tangan hangat Eros sudah berada di dada Ursa, memijitnya pelan. "Nggak dihabisin Adek, kan?"

"Mas, plis ..."

"Please, what?"

"Aku masih mau ngomong," Ursa sudah bernapas pendek-pendek.

"Just say it, I'm all ears." Eros tersenyum di antara rambut istrinya yang beraroma kacang macademia manis dan sedikit aroma laut. "Well, and bone."

***LANJUT DI KARYAKARSA***

CANIS [END] √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang