Apa pentingnya seorang dokter untuk menghadiri konferensi tahunan dengan dokter lain? Kenapa malah bersosialisasi, bukan menyembuhkan pasien mereka yang harus rela tertunda jadwalnya lantaran dokter harus menghadiri acara sosialisasi seperti ini?
Dahulu, Eros berpikir seperti itu, saat ia masih sehijau rumput pertama di musim semi. Namun, seiring bertambah usia dan menghadapi berbagai macam jenis kelainan tulang belakang, Eros sadar bahwa gunanya konferensi tahunan ortopedi untuk bertukar informasi dan penanganan. Ada banyak jenis dan mutasi dari sebuah ruas tulang belakang.
Dan dalam konferensi, mereka belajar bagaimana menangani dan perawatan pasca operasi, mempersiapkan diri jika suatu saat pasien dengan kelainan tulang belakang tersebut datang, ia tahu harus berbuat apa.
Sialnya, tahun ini ia ditunjuk sebagai pembicara lantaran sebuah perbincangan serius di ruang virtual tentang spinal stroke pada anak-anak yang kian meningkat.
Mau tak mau ia harus meninggalkan Ursa yang tengah hamil 7 bulan dan putri mereka yang akan menginjak 3 tahun berduaan saja di rumah. Ya, tidak benar-benar berdua, ada Iis, Pak Setia, Pak Ifan, juga Mamti dan Ibu. Tetapi maksud Eros tidak ada dirinya di tengah kemeriahan keluarga.
"Thanks for today, night, Eros," sapa Evran ketika lift yang mereka naiki berhenti di lantai 18 tempat kamar Eros berada.
"Night too, Ev," balasnya sambil meloyor menuju kamar.
Begitu sampai kamarnya, Eros tak berniat menyalakan lampu, ia senang melihat gedung opera Sydney yang berdiri megah di dekap danau yang gelap. Lampu-lampu feri yang mengelilingi masih terlihat berputar di atas kanvas hitam, termasuk lampu-lampu kota yang berkedip nakal.
Pemandangan ini akan tambah cantik jika ada Shua dan Ursa di sini.
Ia meraih ponsel di saku celana, menghidupkan layar kunci yang berupa foto Ursa tengah tertidur memeluk Shua.
Sedang apa mereka di jam segini?
Pukul setengah sembilan di Indonesia biasanya mereka sedang berbaring di ranjang dengan Shua yang sibuk menyahut obrolan orang tuanya. Shua biasanya tidur pukul 9, rasanya aman jika ia menghubungi sekarang tanpa takut menganggu Shua yang setengah pulas.
Benar saja, di dering kedua sambungan video call-nya sudah terhubung dengan wajah Shua memenuhi layar. Anak itu memeluk salah satu boneka kelincinya, kedua matanya yang besar memperhatikan gambar dirinya yang gelap, bahkan dari layar ponsel Eros bisa melihat bibir sewarna ceri milik Shua.
Bahaya, kalau sudah besar Shua nggak boleh terjebak sama cowok brengsek! Pikirnya menguatkan iman untuk tidak bertengkar melawan seluruh pria yang Shua bawa kelak ke rumah.
"Hawo, Yayah?" sapa Shua. "Ayah, item!"
Eros tertawa pelan sebelum berjalan ke arah sakelar lampu dan membuat ruang tidur tersebut terang benderang. "Halo, Wawa? Belum bobo?"
"Bewum, Yah. Ayah, gi apa?"
"Kenapa belum bobo? Ayah baru pulang kerja." Eros meninggikan kamera hingga setelan formalnya terlihat oleh sang putri.
"Uwa gi omongin dedek bayi."
"Oh, ya? Omongin apaan? Ayah mau denger dong!" senyumnya kembali sumeringah melihat wajah polos putrinya, padahal semenit lalu perasaannya tak keruan.
"Uwa jadi kakak, punya adek, teyus adeknya tetil, kayak Wa duwu. Teyus, adeknya tantik, kayak Wa."
***
Ursa sadar bahwa setelah ini adalah ujian kesabaran lagi karena sudah dipastikan Eros belum berada di rumah dan Shua pasti bertanya-tanya mengapa ayahnya belum di rumah padahal bilang akan kembali setelah 3 kali tidur malam.
Tiap langkah menuruni tangga semakin terasa berat dan benar saja, senyum sumeringah Shua langsung meredup begitu mendapati hanya Mbak Iis yang ada di dapur. Matanya berkeliling mencoba mencari sosok Eros di ruang keluarga maupun ruang tamu yang kosong.
"Oh, mungkin Ayah di bewakang!" anak itu berlari menuju jendela penghubung dapur, melongok halaman belakang mereka yang ditumbuhi tanaman namun tak ada sosok ayahnya di sana.
Senyum yang susah payah dipertahankan itu padam setelah mengetahui belum ada ayahnya di rumah. "Kok Ayah bewum puwang, Nda?"
"Iya, semalem Ayah bilang baru pulang pagi, kayaknya Ayah masih di pesawat, Wa," Ursa berlutut di hadapan Shua, mencoba menyamakan mata mereka. "Makan dulu, yuk?"
Wajah kekecewaan Shua tak bisa disembunyikan dan untuk kali pertama Ursa mendengar suara tangisan Shua yang luar biasa nyaring. Saking kecewanya, Shua sampai jatuh terduduk dan menghentak-hentakkan kakinya di lantai dapur.
Air mata mulai membanjiri pipi Shua, membuat wajah putihnya memerah.
"Iya, entar ayahnya pulang kok, ditunggu dulu, kan Sydney itu nggak dekat," bujuk Ursa berusaha memeluk Shua.
Tapi anak itu seolah tidak peduli dan sibuk menumpahkan seluruh kekecewaannya.
"Kayaknya sarapan di kamar aja deh, Is," merasa sulit bernapas, Ursa kembali berdiri, "tolong gendong Shua ke kamar saya ya."
Begitu tangan Iis terselip di antara ketiak Shua hendak mengangkat tubuh anak itu, Shua berteriak kencang menyingkirkan tangan Iis dari tubuhnya. "Enggak mau sama Mbak Iis! Sama Nda!"
"Sama Mbak Iis aja, yuk!"
"Nda!"
***
Dengan mata yang besar dan pipi yang berseri, Shua mengangguk, membuat kunci kelapa yang dihiasi sebuah pita ikut bergoyang. "Senang, Dokter. Tapi kata Nda, adik Wa tantik," telunjuknya mengarah pada layar monitor, "itu adik Wa?"
"Iya, itu adik Shua yang di dalam perut Bunda."
"Kok jeyek?"
***
"Opa, Wa tateng bawa bunga!" Shua mencoba menyeimbangkan tubuhnya di atas tanah yang tidak rata. "Opa, Wa udah wiat Adek di peyut Nda, mukanya jeyek, tapi kata Yayah nanti kawo udah kewual peyut Nda, Adek tantik kayak Wa."
***
Mau baca lanjutannya? Di KaryaKarsa ya ...
KAMU SEDANG MEMBACA
CANIS [END] √
RomanceSEKUEL URSA Janu Averroes Mahawira, M.D, FICS Namanya terdengar cerdas, wajahnya menunjukkan kebijaksanaan, dan tutur katanya menggambarkan keluasan pengetahuan. Namun begitu jam praktiknya selesai, Eros tak lebih dari pria pemalu, kikuk, dan manut...