SEKUEL URSA
Janu Averroes Mahawira, M.D, FICS
Namanya terdengar cerdas, wajahnya menunjukkan kebijaksanaan, dan tutur katanya menggambarkan keluasan pengetahuan. Namun begitu jam praktiknya selesai, Eros tak lebih dari pria pemalu, kikuk, dan manut...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ajaib dua manusia yang kesabarannya setipis tisue bisa dipersatukan macam mereka. Ribut sepertinya sudah jadi menu utama hidangan hari mereka, tanpa ribut belum kenyang rasanya.
Hari ini pun tak ada beda, pria itu nampak lelah hampir hilang kesabaran saat dirinya mengungkit sebuah foto Farris, kekasih dua tahun putus-nyambungnya, dengan seorang pasien usia awal tiga puluhan berdada D.
"Kamu pasti puas banget kan pegang badannya? Apa yang kamu bilang? 'Oh, punggungmu sakit karena beban di dada terlalu berat' gitu?" tuduh Livia sambil mondar-mandir di apartemen studio Farris.
"Ampun deh, Liv, nggak mungkin aku genit sama pasien!" bantah Farris sambil setengah menjambak rambutnya.
"Cowok mana ada yang nggak melotot lihat dada segede gitu?"
"Liv, aku nyentuh kulit pasienku nggak pakai napsu!" Kali ini Farris ikut berdiri, mengejar ke mana pun langkah kaki Olivia pergi. "Emang kamu pikir nih aku apaan? Cowok yang isi kepalanya selangkangan doang?"
"Lho, buktinya kamu ereksi lihat aku telanjang!"
Geraman pelan terdengar seiring Farris yang menarik membekap wajahnya. "Beda kasus, Olivia! Aku ereksi liat kamu telanjang itu di sini, kamu strip tease! Bukan di ruang konsul ataupun di meja operasi!"
Rasanya Farris tak sanggup lagi menghadapi kekeraskepalaan Olivia lebih lama lagi. Maka ia mengangkat kedua tangannya di udara. "Aku nyerah, kalau kamu selalu cemburu tiap kali aku dapet pasien cewek usia 30-an, aku nyerah, Liv."
Mata cokelat almond tersebut berkaca-kaca, hampir menangis. "Kamu udah nggak sayang sama aku, kan?"
"Mana ada? Aku sayang sama kamu makanya aku nggak mau ngedebat lagi," ucap Farris sambil berjalan mendekat dan meraih tangan Olivia. "Aku cuma butuh kamu buat percaya, Liv. Masa kamu mau seumur hidup cemburuin semua pasien cewekku?"
Keterkejutan itu tak mampu Livia sembunyikan. Matanya terbelalak. "Kamu bilang apa?"
"Percaya sama aku?"
"Bukan, satunya!"
"Cemburuan sama pasien cewekku?"
"Ih, yang lain!"
"Tambahan 'ku di pasien cewek?"
"Ih, Farris! Seumur hidup!"
"Oh ..." tetapi, mungkin memang sebuah penyakit yang turun temurun diwariskan oleh dokter ortopedi, Farris merasa tak ada masalah dengan kalimatnya tadi. "Terus kenapa? Perasaan nggak ada yang salah."
Livia menggeram sebal sambil mengguncang bahu Farris kuat-kuat. "Aku nggak akan mungkin cemburuan seumur hidup ke pasien kamu kalau kita nggak menghabiskan waktu seumur hidup!"
"Oh!" kali ini Farris merasa lega, ternyata bukan hal bisa memicu keributan. "Ya umurku sudah 28, kenapa aku harus jalin hubungan sama cewek yang nggak mau aku nikahin, kan?"