Pamit

72 8 0
                                    

Bunyi sirine ambulans mengakhiri perdebatan antara Derana dengan manusia-manusia biadab dihadapannya. Setelah tahu mobil polisi juga ikut datang dibelakang ambulans, semuanya lari menyelamatkan diri masing-masing.

Berbeda dengan Derana,Ia justru bangkit dan segera memangku kepala Jay, dengan berlinangan air mata. Ia menyesal, tak seharusnya balas dendam itu ada.

"Jay, maafin gue...hiks. " Gadis itu bertambah histeris saat menyadari banyak darah yang mengalir dari perut Jay, sepertinya lukanya cukup dalam dan pasti Jay sangat kesakitan. Darah tersebut mengalir hingga mengenai pakaian dan tangan Derana.

Dua petugas datang melalui tangga darurat yang terletak tak jauh dari samping gedung, mengevakuasi Jay menggunakan tandu. Gadis itu ikut turun melalui tangga dengan tangan yang bergetar, menghapus air matanya kasar dan berniat ikut menemani Jay didalam mobil ambulans.

***

Deketin cowok yang namanya jayden Alvaro," ucap cewek ber-make up ala korea itu, dengan kaos hitam dan hightwaist putihnya,ia terlihat santai memantik api sebelum akhirnya membakar satu buah foto polaroid digenggamannya.

"Kenapa pada liat gue? " Derana tidak terima ditatap mencurigakan seperti tadi, ia bangkit dari sofa hendak pergi menghindar. sejujurnya cewek berponi itu tahu apa yang teman- temannya rencanakan. Sesuatu dengan resiko yang besar. 

pergelangan tangannya terasa sakit saat tiba-tiba seorang cowok memutar balik tubuhnya hingga Derana limbung. "Na! lo nggak kasian sama Luna, dia mati tragis!" hardik cowok itu pada Derana.

Tanpa bicara lagi, Derana yang masih mengenakan pakaian SMA nya mengunci tangan cowok tersebut kebelakang, memelintir kuat dan memojokkannya pada dinding hingga memekik kesakitan. "Diem lo Juan! Gue peduli sama Luna. Gue tau setiap detail Luna lebih dari lo, gue sahabatnya. Inget ya Juan, lo itu cuma cowok pengecut yang nggak berani buat ungkapin rasa. Lo lebih milih terima confess dari Dira daripada perjuangin Luna! lo cowo paling effortless dan jangan lupa kebodohan lo yang diem aja saat Luna telepon lo sambil nangis sebelum dia memutuskan buat loncat dari gedung!" seketika susana canggung menyelimuti ruangan sedang bekas ekstrakurikuler fotografi yang sudah ditinggalkan karena sepi peminat.

Derana menatap satu persatu temannya yang menatapnya seakan kecewa. ia menghela napas berat. Apakah perlu mengungkit kejadian tragis itu lagi saat ia mulai berdamai dengan kepergian Luna?

"Jangan egois gitu lah, na. ini kesempatan bagus, orang-orang ngga bakal tau. berita lo yang suka sama jay udah jadi hal biasa, mereka ngga bakal curiga kalo lo deketin Jay." perencana terbaik, Satya ikut membujuk Derana.

"Gue ngga mau main-main sama persaan. Gue serius waktu bilang gue suka Jay."

"Oh God! lo masih bilang soal perasaan disaat lo sendiri tau jay satu-satunya orang yang paling dicurigai? lo waras kan na? " sambung Nanda kesal.

"Lo pilih buat lanjut sama kita atau keluar dari sini sekarang," kalimat Sean membugkam Derana, gadis itu memejamkan mata, mengusap kasar wajahnya dengan lesu. Pikirannya carut marut, wajah mengenaskan Luna hari itu masih saja terbyang jelas dan berulang dalam ingatannya. 

"Inget Na, awal kita bentuk kelompok rahasia tanpa Jay didalamanya karena apa? Lo sama Nanda sahabatnya, Ricky punya utang budi sama orangtua Luna, Luna diem-diem sering bntuin Satya yang dikejar deadline sana sini, Haris sama Azka langganan di jajanin luna dikantin cuma-cuma, juan yang suka Luna, dan  gue sahabat kecil Luna. Please, jangan terjebak sama perasaan cinta. Apalagi sama cowok brengsek kayak Jay, lo nggak tau berapa cewe  yang udah tidur bareng dia, jay itu licik, dia playing victim, dan-" 

"Gue ikut," Dua kata yang Derana ucapkan malam itu seakan mengikatnya erat, ia tak bisa melepaskan diri dari apa yang bibirnya ucapkan sendiri. bahwa ia akan mengesampingkan peraaan sukanya terhadap Jay, mendekati cowok itu hanya untuk mengulik informasi seputar Luna.

"Derana Asmaralaya?"

Sapa seseorang berseragam polisi,

Sudah sekitar 30 menit berlalu, Jay masih belum juga sadar. Bahkan tadi dokter mengatakan kemungkinan Jay bisa saja koma. Derana memejamkan mata sejenak, awal pertemuan balas dendam terputar berulang dalam otaknya, telinga, dan mengaduk-aduk perasaannya.

"Benar, saya Derana Asmaralaya,"

"Bisa ikut saya ke kantor polisi sebagai saksi kejadian percobaan pembunuhan pada saudara Jayden Alvaro?"

Saat polisi tersebut bertanya, tatapan Derana kosong, ia hanya mengangguk dengan setetes air mata yang jatuh, bibirnya bergetar menahan perih dihatinya terhadap Jay.

Derana yang masih duduk mendongak pada polisi tersebut,
"Boleh saya masuk sebentar untuk melihat kondisi Jayden?"

Polisi tersebut nampak berpikir sejenak namun akhirnya mengiyakan.
"Anda hanya kami beri waktu 15 menit,"

"Itu lebih dari cukup. Terima kasih, pak."

Derana segera masuk ke dalam ruangan Anyelir yang ada didepannya, hanya terdengar suara detak Jam dinding dan alat monitor yang dipasangkan pada tubuh Jay.

Gadis itu berjalan pelan menuju brankar Jay, seolah tak mau Jayden terganggu karena kehadirannya, meskipun nyatanya Jayden mustahil terbangun untuk sekarang. Melihat wajah pucat Jayden, Derana merasakan sesak yang luar biasa. Ia teringat, bagaimana saat Jay tertawa sehabis mengatainya, mengajaknya keluar malam, dan hal lain yang membuatnya tertawa bersama lelaki itu.
"Nyatanya aku gagal jagain kamu, Jay...aku yang nyerahin kamu sama mereka dan biarin kamu sampai jadi kaya sekarang—" kedua tangan Derana membungkus satu tangan Jay yang terpasang monitor pada jarinya.
"Aku kecolongan sama temen-temen ku sendiri...," Derana terisak pelan. Tangisnya kembali pecah,setetes air matanya mengalir namun segera ia usap.

Ia menggenggam Jay erat seolah perkatannya kali ini sangat serius, diiringi senyum dengan mata yang sembab Derana mengungkapkan kalimat perpisahan pada cinta pertamanya itu.
"Jay, aku ngga akan minta maaf, karena memang perbuatanku sama sekali ngga layak buat dimaafin, untuk minta maaf pun aku malu. Aku khianatin cintaku sendiri sama balas dendam kotor yang ngga ada gunanya. Kalaupun benar, kamu orangnya, Luna juga ngga hidup meskipun kamu mati."

" Jay...kamu pasti sembuh. Jangan cari aku ya setelah ini, saat aku udah hukum diri aku sendiri, aku bakal balik sendiri. Aku—mau nyerahin diri ke polisi. Kamu boleh marah dan benci sama aku, Jay .  I am still love with you, always. Bye, my pororong..."

***

PENA ASMARA | TAMAT✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang