The Beginning

131 5 1
                                    

.
.
.
Aku melajukan mobilku di jalanan malam yang sudah lumayan sepi walaupun waktu masih menunjukkan pukul 10. Sinar temaram lampu jalanan senantiasa menemani perjalananku. Aku membiarkan atap mobilku terbuka, membuat rambutku kian kesana kemari di tiup angin.

Malam ini udara berhembus begitu dingin. Entah mengapa rasanya hatiku merasa gelisah. Padahal aku baru saja pulang dari pesta perayaan kelulusan SMA bersama teman-temanku. Seharusnya aku senang, tapi nyatanya tidak. Perasaanku tidak enak. Apakah ini sebuah pertanda buruk?

Ketika sedang asik mengendarai mobil, tiba-tiba saja mobil pemadam kebakaran dengan sirinenya yang meronta melaju dengan cepat. Apakah ada kebakaran? Dimana? Batinku terus bertanya-tanya. Rasa gelisah makin menyelimuti diriku. Apalagi mobil itu menuju kearah yang sama denganku. Aku semakin khawatir saja ketika melihat asap yang mengepul di udara dari daerah rumahku. Aku menancap gas dengan cepat dan berdo’a agar semua yang ada dipikiranku adalah salah.

Aku semakin dekat dengan rumahku, hatiku semakin gelisah saja. Banyak orang yang berlarian ingin menyaksikan kebakaran itu. Begitu aku tiba, rasanya aku malah tidak ingin turun. Kakiku gemetar dan aku sangat takut. Banyak sekali mobil pemadam dan warga sehingga aku tidak bisa melihat rumahku. Aku mencoba turun.

Perlahan aku menembus keramaian sampai akhirnya aku melihat keadaan rumahku yang sudah hangus terbakar. Kakiku terasa lemas sampai aku tidak bisa menahan tubuhku dan akhirnya terjatuh. Aku terpaku melihat rumahku yang mungkin sudah tidak bisa disebut rumah lagi.

Aku terduduk di tanah. Aku tidak percaya dengan semua ini. Tiba-tiba saja seseorang datang menghampiriku dan langsung memelukku. Ternyata dia sepupuku, Alvin. Entah bagaimana dia bisa berada disini lebih dulu dari pada aku. Dia terus saja memelukku tapi tidak mengatakan apapun.

“Vin, ada apa? Dimana ayah dan bunda? Mereka baik-baik aja kan, Vin?” Akhirnya aku bertanya dengan suara bergetar menahan tangisan. Alvin tidak menjawab apapun.

“Ayo, Vin, jawab!” Aku memaksanya menjawab sambil mengguncang-guncangkan bahunya. Kali ini air mataku mengalir.

“Yang sabar, ya, Ra. Mereka udah berusaha menyelamatkan orang tuamu, tapi sayangnya mereka gak berhasil. Masih ada aku, Ra, yang pasti selalu temenin kamu,” jawab Alvin akhirnya sambil mengelus rambutku.

“Dimana mereka sekarang??” tanyaku lagi. Alvin mulai berdiri dan menuntunku kearah mobil ambulance. Aku bahkan baru menyadari ada ambulance disini. Aku melihat dua buah ranjang milik ambulance itu. Kedua ranjang itu sudah terisi dengan ditutupi selimut putih. Aku mendekatinya dan membukanya perlahan. Dadaku terasa sesak. Aku tidak bisa mengatur nafasku. Wajah itu sudah hangus sampai aku tidak dapat mengenalinya lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Lagi-lagi aku terjatuh, tapi kini Alvin memegangiku.

“ENGGAKK! Mereka bukan orang tua aku, Vin, ayah dan bunda masih hidup, aku gak percaya!” Aku berteriak sejadi-jadinya. Semua mata memandangku kasihan.

“Udahlah, Ra, tenangin diri kamu, terima kenyataan, Ra,”

“Pokoknya aku tetep gak percaya, kamu pembohong!”

“Lihat ini!” Alvin menujukkan dua buah cincin. Itu cincin pernikahan orang tuaku. Mereka tidak pernah sekalipun melepas cincin itu. “Cincin ini ada di jari mereka. Ini buktinya, Ra!” jawab Alvin lagi bersikeras meyakinkanku.

Aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini. Semuanya begitu pahit. Seandainya aku bisa memutar waktu. Seandainya aku bisa kembali ke masa lalu. Seandainya aku bisa mencegah ini semua terjadi. Tapi sayangnya aku tidak bisa. Aku butuh keajaiban untuk merubah semuanya.

Mengapa semua ini terjadi padaku? Apakah ini takdir yang harus kuterima? Takdir pahit yang harus kubebani? Apakah aku sanggup? Aku bahkan tidak yakin aku sanggup. Aku tidak tahu bagaimana diriku selanjutnya tanpa orang yang paling berarti dalam hidupku. Ayah… Bunda… Mengapa kalian harus pergi meninggalkan Sera? Sera tidak ingin sendirian. Sera takut..

Aku terus menangis tanpa henti di bahu Alvin. Kemudian orang tua Alvin, om dan tanteku datang. Mereka langsung memelukku juga. Aku rasa mereka juga terpukul. Apalagi bunda adalah adik dari Om Frans. Kini hanya mereka yang ada dalam hidupku.

“Sera, mulai sekarang kami tidak akan membiarkanmu sendirian, kamu jangan nangis lagi, ya,” hibur Om Frans.

Aku sedikit lega mendengar itu. Aku langsung mengangguk dan mengusap air mataku. Setidaknya aku masih memiliki orang yang menyayangiku.

***

Keesokan harinya…

Hari yang paling tidak aku inginkan akhirnya datang menghampiri. Pemakaman. Aku benci dengan hal ini. Aku benci dengan tempat ini. Tapi disinilah aku saat ini. Walaupun pada akhirnya juga aku pasti akan tinggal disini, bukan?

Semua pelayat, teman dan kerabat hadir disini. Aku bahkan tidak mengenal beberapa dari mereka. Aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi. Aku tidak ingin membebani orang tuaku. Jujur saja, itu sangat sulit bagiku. Tapi aku berusaha agar air mataku tidak menetes. Dan sampai saat ini aku berhasil. Termasuk om Frans dan tante Ana, serta Alvin.

Setelah selesai, semuanya mulai meninggalkan tempat ini kecuali aku. Aku masih ingin disini bersama orang tuaku untuk beberapa saat lagi. Melepas kepergian mereka untuk yang terakhir kalinya. Aku berjongkok disamping kuburan ayah yang bersebelahan dengan kuburan bunda.

“Ayah, bunda, sampai saat ini Sera belum tau semua kejadian malam itu, tapi Sera janji akan cari tahu untuk memperbaikinya. Dan jika semua ini karena kesengajaan seseorang. Sera akan cari tahu siapa orang itu, dan Sera pasti akan membalasnya. Sera janji. Sera tidak akan menjadi wanita yang lemah. Sera akan menjadi seperti ayah dan bunda,” kataku sambil menatap kuburan mereka.

“Ra….. Ayo cepat….” teriak Alvin yang sudah berada dalam mobil yang terparkir lumayan jauh dari tempatku berada.

“Iya sebentar..” jawabku dengan teriakan juga. “Selamat tinggal ayah, bunda, jaga diri kalian baik-baik,” salamku pada mereka dengan tersenyum.

Kemudian aku pergi meninggalkan kuburan dan berlari menuju mobil. Mobil yang dikendarai oleh om Frans mulai bergerak. “Sera pasti akan pegang janji…” batinku dengan pasti.

.
.
.
.
.
to be continued

My Secret AgentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang