Tujuh hari berlalu dengan lincah.
Langit terpantau masih gelap saat Tiur menelepon Mara. Saking Tiur mengenal sahabatnya itu, kemarin dia mengusulkan dengan sukarela, untuk membangunkan Mara sepagi mungkin. Sekalian dia juga bersiap-siap berangkat kerja.
Namun, saat ini, wanita muda yang diteleponnya malah masih meringkuk manja di balik selimut.
Mimpi indah memeluk Lee Min Ho, tampaknya membuat Mara lupa kalau hari ini adalah hari pertama dia bekerja.
"Udah bangun kau, Mara?!" Suara Tiur berseru nyaring di ujung telepon.
"Eenggg ... kamu pikir deh, Butet. Kalau masih tidur nggak mungkin kan aku bisa ngangkat telepon." Mara mengucek mata sambil menguap panjang.
"Nah, bagus! Sekarang angkat pantat kau itu! Cepat jalan ke kamar mandi!"
"Hah? Mandi? Duh, ibu belum nyuruh aku mandi, Butet. Tunggu dulu saja ya. Pantang mendahului orang tua," ucap Mara beralasan.
"Mendahului orang tua, muncung (mulut) kau! Perjalanan ke tempat kerja kau itu satu setengah jam, kalau ngga macet. Belum lagi habis mandi kau harus touch-up dulu, pakai dempul muka, ukir alis, moles bibir ... ehh, Mara! Kok sepi? Mara Jawab! Jangan tidur lagi kau, Mara!! Mara!!"
"Maraaa!! Bangun! Habis mandi bantu ibu bungkus bekal makan siang buat kamu!" seru Cempaka mengetuk pintu kamar Mara.
"Nah tuh! Ibu kau udah treak-treak. Bangun kau! Losok hian ho (males banget kamu)!"
"Iya - iya aku bangun! Bawel!"
"Kamu ngatain ibu bawel? Dasar anak durhaka!" Cempaka mengetuk pintu makin kencang.
"Bukan, bu! Bukan ibu! Tiur nih! Mara lagi telponan sama Tiur!" Mara menyibak selimutnya kesal.
"Oohh, sekalian bilang Tiur, ibu buat nasi kuning. Kalau dia mau mampir saja ke warung sebelum berangkat kerja."
"Nasi kuning? Bilang ibu kau, aku mau."
"Bu ...! Kata Tiur dia udah sarapan! Udah kenyang! Lain kali saja."
"Eehh lawak kau! Kurang ajar! Pagi-pagi udah buat kawan esmosi!" umpat Tiur.
Mara terkekeh menahan tawa.
Pukul 06.30. Mara sudah mengendarai motor matic yang kontras dengan secretary look-nya pagi ini. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, kali ini senyumnya mengembang sepanjang jalan.
Satpam perumahan dia senyumin. Berpapasan dengan tukang sayur keliling, dia tersenyum. Kucing di pinggir jalan disenyumin sampe ketemu ibu-ibu sein kanan belok kiri juga dia cuma senyum. Senyum dongkol.
Mara bahagia. Hatinya riang, seriang kerah kemejanya yang mengepak sepanjang jalan. Berkibar heboh bersama ikatan rambut yang perlahan mengendor.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...