MAJU TERUS MARA

11.4K 1.1K 25
                                    

Mara termangu sejenak di depan pintu ruangan yang tertutup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mara termangu sejenak di depan pintu ruangan yang tertutup. Dia seperti hendak mengungkit lagi tentang harga diri dan memarahi pria bernama Reno yang berhasil meyakinkan dia tentang pekerjaan itu.

Tetapi kemudian teringat dengan lima puluh juta yang akan dia terima bulan depan - kalau mampu bertahan. Nominal yang bakalan membuat Ibu Cempaka nyengir seharian melihat anaknya bisa berguna dan pulang membawa harta karun.

Persetan dengan ungkapan 'uang bukan segalanya', tapi bagi kelas menengah sepertinya, 'segalanya butuh uang'. Motor matic-nya itu saja butuh uang minum seminggu minimal lima puluh ribu.

"Well! Ngga bisa begini. Aku harus melakukan sesuatu." Mara menunjuk pintu dengan ekspresi kesal kemudian berlalu melintasi koridor.

Lantai itu sama sepinya dengan lantai sewaktu dia di wawancara dulu. Sepertinya sengaja di atur sedemikian rupa agar CEO aneh bin ajaib - tapi tampan - itu nyaman selama bekerja. Selain itu pasti untuk menjaga agar rahasia pria itu bisa selalu aman.

Tak mau menyia-yiakan pengorbanan dirinya bangun pagi, Mara lekas menjauh dari ruang CEO. Kemudian duduk menyandar ke sofa panjang aesthetic di area tunggu.

"Alamakjang! Ga ada otak kurasa boss kau itu! Kau kan sudah tanda tangan kontrak. Mana bisa dibatalkan seenaknya?!"

Sudah terbayang dibenak Mara seperti apa kemurkaan Tiur, kalau seandainya dia menceritakan kesialan dia pagi itu. Tak mustahil Tiur akan langsung menyuruhnya pulang saat itu juga.

Dan maaf sedalam-dalamnya, tentu saja Mara tidak memberitahu Tiur tentang rahasia boss-nya itu. Karena, berdasarkan penjelasan Reno, kelemahan itu jika diketahui publik, bisa menjadi ancaman yang akan berpengaruh pada gejolak saham perusahaan.

"Nona Tamara, saya yakin anda orang yang tepat untuk membantu keseharian Pak Boss. Lima puluh juta dan akan terus naik seiring kinerja nona."

Mara menggigit bibirnya. Andai saja dia seberuntung Tiur yang bisa cepat dapat pekerjaan atau terlahir dari keluarga kaya raya. Pasti sudah sudi najis diperlakukan oleh boss ganteng, tapi sombong semacam tadi.

"Sialaaann!" pekik Mara meremas-remas rambutnya.

Terlanjur setengah gila terjun dalam segala keanehan ini, Mara mulai mencari-cari informasi tentang Gintang Mahendra. Informasi apapun yang bisa membantu dirinya memperjuangkan lima puluh juta itu.

"Dua puluh tahun memimpin, Gilang Pratama Mahendra menyerahkan takhta Mahendra Grup kepada putra sulungnya," baca Mara pada sebuah artikel bisnis.

"Ohh, nama ayah dia Gilang. Terus anaknya Gintang. Huruf depan 'G' semua. Ini keluarga agak-agak kurang kreatif ya," cibir Mara.

"Mewarisi omzet empat ratus triliun menjadikan Gintang Mahendra sebagai pria berusia di bawah tiga puluh tahun terkaya di Indonesia." Mulut Mara menganga.

Bantal, Kopi dan Teman TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang