UJIAN PRAKTIK

8.4K 984 63
                                    

"Maling! Bu, ada maling!" teriak Mara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maling! Bu, ada maling!" teriak Mara.

Pagi itu, dia yang baru bangun tidur pagi dan hendak mengeluarkan motor dari dalam ruko, seketika panik saat tak mendapati keberadaan motor matic-nya di manapun.

"Duh, apa sih? Anak perempuan teriak-teriak ngga karuan gitu!" sahut Cempaka keluar tergesa dari dalam toilet.

"Motor aku, bu! Motor aku satu-satunya - harta aku - teman perjalanan aku yang paling berharga! Kemanaaaa??" tanya Mara mendramatisasi setiap kalimat dengan gerakan tangannya.

"Lha, kamu ini gimana? Motor kamu setengah jam lalu udah diambil sama orang yang mau servis. Katanya udah janjian?" ujar Cempaka.

"Janjian? Orang servis? Siapa, bu? Motor Mara kan baru diservis, masa diservis lagi? Aduuuhhh ..." Mara bolak balik pintu masuk, barangkali saja motornya masih ada di sekitar ruko.

"Aduuhh ... jadi - jadi kamu ngga manggil tukang servis? Terus, tadi yang datang ke sini siapa? Masa maling? Aduh, Mara ... gimana nih?" tanya Cempaka ikut bolak balik bingung.

"Baru juga satu masalah selesai, udah ada masalah baru. Ada apa sih dengan kita tahun ini, bu? Apa amal-amalan kita kurang ya?" gumam Mara terduduk di kursi plastik membelakangi pintu.

"Ibu udah rajin jumat berkah ngikutin saran dari Pak Ustad kok, Mara. Kurang apa lagi ya?" Cempaka ikut terduduk lemas.

Setelah kedatangan Gintang menghentikan aksi penggusuran ruko, suasana tempat tinggal mereka pun kembali tenang. Kesehatan Cempaka juga berangsur pulih. Dia bisa pergi ke pasar lagi subuh-subuh. Kemudian menyiapkan masakan untuk warung.

Meski begitu, tak ada mereka yang berani menyentuh amplop coklat berisi surat tanah atas nama Tamara Lovanta. Hal tersebut masih terasa ganjil dan sangat aneh bagi mereka.

"Terpaksa aku ke kantor naik angkutan umum deh. Kalau begitu mending aku pakai sepatu olah raga saja biar ngga ribet naik turun," keluh Mara bangkit, lalu menyeret langkahnya menuju tangga.

"Selamat pagi, Mara. Apa saya bisa ikut sarapan di sini?"

🍓 Resep #1 : Senyum, sapa, salam! Jadilah pria pertama yang menyapanya mulai dari bangun pagi.

"Hah?!" pekik Mara berbalik ke arah pintu. "Pak ---"

"Maaf, bikin kaget. Saya baru dari luar kota, perjalanan berjam-jam bikin perut lapar. Gimana? Boleh saya ikut sarapan di sini? Telur dadar dan nasi hangat saja sudah cukup kok ..." cetus Gintang, sopan dan santai.

"Ini - ini masih terlalu pagi, pak. Warung nasi juga belum buka. Mending bapak pulang aja - nanti saya bawain nasi kuning ke kantor ..." ucap Mara buru-buru.

"Kamu ngga kasihan sama saya, Mara?" Gintang duduk di sebuah kursi plastik dengan wajah memelas.

"Malam ini saya ngga tidur lagi. Saya berkendara sendirian lebih dari enam jam. Sepanjang jalan saya keingetan terus sama kamu. Kasihan kalau kamu ke kantor naik motor terus ... nanti kulit kamu bisa merah-merah," ujar Gintang menatap Mara.

"Saya ngga akan naik motor, pak. Motor saya kemalingan. Saya bisa naik angkutan umum ke kantor. Lagian ada benda ajaib bernama sunblock kali," sahut Mara lemah.

🍓 Resep #2 : Datangi dia, berikan lebih banyak lagi pertolongan kecil yang membuatnya ketergantungan!

"Kemalingan? Oh ya ampun ... kalau begitu pas sekali ya saya datang ke sini. Kita bisa sarapan abis itu berangkat ke kantor bareng. Iya kan, Ibu Cempaka?" Gintang menarik senyum sembari melirik Cempaka.

Mata teduh Cempaka menyiratkan kalau wanita itu tak tega kalau harus mengusir Gintang. Terlebih lagi dia juga belum sempat mengucapkan terimakasih atas bantuan yang diberikan pria muda itu kepada mereka.

"Nak Gintang, mau dibuatkan teh?" tanya Cempaka.

"Boleh, bu. Terimakasih sekali ..." sahut Gintang manis.

"Kalau gitu ibu buatkan sebentar ya. Sarapannya mau dadar telur saja?" tanyanya lagi.

"Iya, bu. Itu saja. Yang simpel dan tidak merepotkan ..." Gintang beralih melirik Mara yang berdiri mematung di ujung tangga.

"Aaahh ... apa yang merepotkan? Ngga lah ... ibu ke dapur dulu ..." Cempaka melangkah sembari meremas kaosnya.

"Kamu mandi sekarang, Mara. Malu tuh dilihat Pak Boss masih belekan, ileran begitu. Cepet!" bisik Cempaka saat melewati Mara.

"Ibu ..." rengek Mara cemberut.

"Udah cepet ..." Cempaka mendorong-dorong punggung Mara menaiki tangga.

Gintang menahan senyum, menikmati pemandangan pagi yang membuatnya bahagia. Sebelumnya, dia tidak berniat datang ke tempat itu setelah perjalanan dari Jawa Tengah. Meski tak mengantuk, tetapi tubuhnya terasa lelah.

Namun, saat membaca isi resep yang diberikan Gilang, sebuah ide cemerlang muncul begitu saja dalam benaknya. Jadilah dia berada di sana sekarang. Menyeruput teh jasmine hangat dan membaui dadar telur yang baru matang.

"Silahkan ... Nak Gintang ibu buatkan nasi goreng pakai dadar telur. Ibu juga sekalian goreng tempe mendoan." Cempaka meletakkan dua piring bundar besar berisi nasi goreng dan tempe mendoan di atas meja makan.

"Waahh! Padahal saya hanya minta dadar telur dan nasi hangat saja. Terimakasih ya, bu ... Mara ayo makan ..."

Mara yang sudah wangi, cantik dan segar dengan setelan kantor rapi hanya bisa pasrah memperhatikan Boss-nya melahap masakan ibunya. Melihat cara Gintang makan dengan begitu teratur dan paripuna saja sudah membuat dia kenyang.

Pagi itu - entah sudah mandi atau belum - Gintang terlihat menawan, tanpa cela. Lengan kemeja yang digulung sampai siku, sukses menampilkan kulit mulus seputih gading yang membuat cewek-cewek sekantor minder.

"Nak Gintang, bawa ini ya ... bekal buat makan siang. Maaf, ibu ngga sempat buat nasi kuning. Hanya lauk dan sayur seadanya saja ... sama ini ..." Cempaka menyodorkan termos kecil pada Gintang.

"Ibu ... apa sih? Jangan bikin aku malu deh ..." Mara menyenggol kaki Cempaka di bawah meja.

"Kata Mara, Nak Gintang suka minum amer ... amer apa itu? Pokoknya ibu pernah cari tahu, itu sama seperti kopi hitam. Nah, kalau cuma kopi hitam sih ibu juga bisa buat. Gampang saja, tinggal seduh dari sachet."

"Bu, aku berangkat sekarang ... takut angkutan umum sudah lewat." Lelah menonton kelakuan ibu dan Pak Boss-nya itu. Mara buru-buru menjinjing tas dan memakai sepatu olah raganya.

"Eh, Mara tunggu!" seru Gintang.

"Bu, saya pamit. Terimakasih untuk makanannya." Gintang bergegas mencium tangan Cempaka. "Oh ya, ada salam dari Ibu Mayang - ibu saya. Katanya rindu dengan karyawan terbaik."

Cempaka tersipu. "Ah ... oh ... jadi malu. Salam balik ya, nak. Ibu juga rindu ngobrolin masakan sama Ibu Mayang."

---

Hai, readers!

Mohon maaf, demi kepentingan penerbitan, maka sebagian isi novel Bantal, Kopi dan Teman Tidur akan dihapus dari wattpad!

Cerita lengkap Gintang dan Mara segera bisa dipeluk dalam bentuk novel cetak. 😊😊😊

Doakan awal tahun 2024 sudah bisa buat pengumuman open po ya. Salam Stoberi/Fredy_ GoldenBrown

Bantal, Kopi dan Teman TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang