Mara merapikan kertas-kertas legalitas yang harus dia urus besok, lalu mengambil helm dari bawah meja. Dia sudah bersiap pulang. Kali ini Mara tak berharap sama sekali, akan ada kejutan saat membuka pintu ruangan.
Karena, seusai pertemuan terakhir tadi, Gintang sudah lebih dulu berpamitan pulang lebih awal. Tanpa mengatakan apapun tentang dia akan ke mana atau ada kepentingan apa. Gintang hanya mengingatkan pekerjaan yang harus Mara selesaikan besok.
"Mumpung bisa pulang cepat, mau bawa Rena JJS (jalan-jalan sore) ke taman komplek aah ..." Mara tersenyum membayangkan sorenya yang santai dan menyenangkan.
Tiba di depan lift, ponselnya bergetar pendek-pendek. "Siapa sih? Hah? Ibu?" ucap Mara mengusap layar ponsel dan membaca pesan dari Cempaka.
Bibir Mara bergetar membaca sebaris pesan dari ibunya. Buru-buru dia mengetikkan balasan. Kemudian berlari kecil ke parkiran dan melajukan motornya menyusuri jalan tikus tersingkat.
Dadanya bergemuruh. "Tunggu aku ya ... pliiss ..." Doanya dengan mata nyaris berair.
***
Dentuman suara musik semakin memuncak. Gintang duduk di sofa dengan setelan lengkap, mencomoti kacang goreng yang dibawakan pelayan setiap kali ada yang memesan minuman beralkohol. Tetapi Gintang hanya suka kacang goreng itu saja. Dia sudah menolak lebih dari sepuluh jenis minuman yang ditawarkan.
Yah, sekalipun berada di klab malam, Gintang tetap sadar posisinya di muka bumi ini. Dan mempermalukan diri sendiri dengan mabuk atau berkencan di klab malam jelas bukan kelasnya. Dia datang ke sana hanya untuk menyelamatkan Mara agar tak sampai terlibat dalam perbuatan tak terpuji Dini.
Namun, sedikit termenung, perkataan Dini tadi pagi ada benarnya juga. Dia memang anak sulung yang penurut. Padahal lebih asik menjadi seorang pembalap, seperti apa yang dia cita-citakan semasa remaja dulu. Tetapi akhirnya mengalah pada takdir yang dipilihkan orang tuanya dengan menjadi seorang CEO.
"Gintang, sini dong!" Dini dan Mita kompak memanggil Gintang.
"Kita dance, tang! Musiknya asik nih!" seru Dini. Dia menari memunggungi seorang pria yang terlihat menatap liar tubuh indahnya.
Gintang melambaikan tangannya, menolak ajakan berbahaya itu. Kalau kepergiannya ke Bogor bersama Mara saja bisa diam-diam ada yang memotret, apalagi jikalau dia melepas jas dan menari-nari seperti pria tak bermartabat? Mungkin besok pagi fotonya sudah tersebar di medsos berbagai akun gossip. Mengerikan!
"Ayo, bentaran aja ..." rengek Dini mendekati Gintang yang tak bergerak di sofa. "Asik loohh ..."
Gintang mendengus. "Aku ngga biasa. Kamu sama yang lain aja," ucap Gintang tangannya sudah kehabisan kacang goreng.
"Ngga enak sama Mita, tang. Ulang tahun dia loh ini. Kita bikin dia hepi sekali ini aja ya." Dini menarik-narik tangan Gintang, hendak menggiring pria itu ke lantai dansa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...