Pukul 17.00, Gintang baru kembali ke ruangan setelah menyelesaikan serangkaian meeting. Dia masih harus membuat bahan meeting untuk klien baru mereka. Selain itu, urusan legalitas yang seharusnya dikerjakan Mara, malah belum dia sentuh sama sekali.
Tadi siang dokter hewan menelepon, Rena sudah lebih segar dan bisa dibawa pulang. Nanti akan dibekali obat dan makan kaleng yang bagus untuk pencernaan Rena. Gintang setuju dan berjanji akan menjemput kucing kuning belang itu sepulang kerja.
"Satu jam lagi. Siapkan bahan meeting besok baru jemput Rena ..." gumam Gintang membuka lagi laptopnya.
Satu jam, dua jam terlewati begitu saja. Gintang tersadar dari layar laptop saat office boy yang bertugas membersihkan lantai itu mengetuk pintu ruangannya.
"Maaf, Pak. Sudah jam delapan malam. Kira-kira bapak pulang jam berapa? Mau saya buatkan kopi atau teh?" tanya office boy.
Gintang memijit bilah di antara dahinya. "Oh, sudah jam delapan ya. Lima menit lagi saya pulang," sahut Gintang.
"Baik, pak ..."
"Oh ya, tolong pindahkan mobil saya ke depan lobby." Gintang menyerahkan kunci mobilnya ke office boy.
"Baik, pak. Saya permisi ..."
Gintang mengintip ponselnya. Berharap setidaknya ada satu saja pesan dari Mara. Sekedar bertanya apa dia ada kesulitan dengan pekerjaan hari ini? atau mengingatkan tentang legalitas itu.
Ah! Buat apa juga Mara menanyakan itu? Dia sedang sakit. Tetap memikirkan pekerjaan bukan vitamin yang baik untuk menambah imunitas tubuh. Gintang meletakkan lagi ponselnya.
Tapi - masa Mara tidak mengkhwatirkan Rena? Seharian ini dia tidak bertemu dengan makhluk berbulu itu loh. Apa dokter juga memberitahu kondisi Rena pada Mara? Bisa jadi sih. Tetapi ...
"Dia sudah sembuh belum ya?" Gintang mengambil lagi ponselnya dan mengetik sebaris pesan untuk Mara.
Lima menit, seperti janjinya pada office boy, Mara tak juga membalas pesan Gintang. Mungkin udah tidur. Gintang memasukkan ponsel ke kantung jas dan mematikan laptopnya. Malam ini dapat dipastikan dia tidak bisa tidur lagi. Dia kepikiran Rena yang belum dijemput dan - seharian ini dia tidak mendengar suara Mara.
Sementara itu, wanita yang sedang dikhawatirkan Gintang juga sedang uring-uringan. Perkataan Dini membuat hatinya tak tenang. Apa benar wanita itu calon istri Gintang? Kok bisa? Eh, bukan! Sejak kapan?
Mara tidur menyamping. Selimut menutup tubuhnya sampai ke leher. Ponsel yang semenit lalu dia pakai berbalas chat dengan Tiur menyala lagi.
"Pak Boss ..." Mara membaca notifikasi chat di layar ponsel.
Hendak membalas pesan Gintang, tetapi seperti ada sesuatu yang menahannya. Tiba-tiba dia merasa tidak layak membalas pesan itu, kalau benar Gintang sudah menjadi calon suami wanita lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...