Gintang menempuh jarak ratusan kilometer dalam waktu kurang dari enam jam. Mengendarai mobil SUV-nya nyaris tanpa rem. Sebelumnya tentu saja dia sudah menenggak Americano double shot sebelum mulai berkendara jarak jauh.
Setelah melewati perjalanan panjang, Gintang tiba di pelataran rumah kuno peninggalan belanda. Rumah yang telah mendapatkan sentuhan modern tanpa merubah bentuk bangunan asli itupun seolah menyambut Gintang dengan senyum kerinduan.
"Mas Sulung? Ibu ... Mas udah pulang!" Gita Ayu Mahendra, gadis yang kini telah menjelma wanita cantik bergelar mahasiswa berseru dari teras rumah.
"Cah ayu kenapa sendirian di luar?" tanya Gintang menyambut adik manjanya itu.
"Ibu nyuruh aku nungguin mas. Katanya ibu lagi nyiapin apa - ngga tau tuh. Biasa deh, kalau anak cowoknya pulang, ibu pasti rempong banget. Ngga kayak kalau anak ceweknya pulang. Bukannya dimasakin yang enak-enak, malah di suruh ngepel, beres-beres, jemur kasur ..." curhat Gita cemberut.
"Masa ibu nyuruh jemur kasur? Emang Pak Budiman udah ngga kuat angkat kasur?" tanya Gintang mengacak rambut Gita yang sudah lebih panjang dari sebelum dia menjabat sebagai CEO.
"Pak Budiman lagi sakit pinggang. Sudah dibawain tukang urut sih tapi ..." Gita berceloteh riang sambil bergelayut di lengan Gintang. Menumpahkan seluruh kerinduan pada sosok kakak favoritnya itu.
Gintang tersenyum sembari mendorong pintu masuk yang langsung menguarkan suasana hangat yang dia rindukan. Mungkin orang di luar sana memandang keluarga mereka sebagai keluarga konglomerat yang hidup bermewah-mewah, tetapi kenyataannya malah berbeda dari bayangan orang-orang.
Gilang dan Mayang adalah orang tua yang mendidik anak-anak mereka dengan batasan-batasan yang jelas. Tentang pergaulan, keuangan dan gaya hidup. Meski tak jarang empat orang anak mereka tetap saja sering berbuat nakal.
Sejak melepas jabatan CEO serta kondisi kesehatan ibunya yang menurun, Gilang memutuskan memboyong istri, supir serta asisten rumah tangga - suami-istri dengan satu anak - mereka ke kampung halaman ibunda Gilang di Jawa Tengah.
"Mas Sulung ...!" pekik Mayang mencopot sarung tangan oven sehabis mengeluarkan panggangan terakhirnya.
"Ibu sehat?" peluk Gintang mencium tangan dan kedua pipi ibunya.
"Sehat, mas. Kalau ngga sehat mana mungkin ibu bisa masak banyak begini. Kita makan dulu ya sebelum kamu cerita-cerita sama ayah." Mayang mengedipkan sebelah matanya.
Sepuluh menit kemudian mereka berempat sudah duduk mengelilingi meja makan bundar dekat dapur. Makan malam mereka pun bukan ala eropa atau italia. Dan, jengkol balado yang selalu hadir dalam perayaan kecil keluarga Mahendra, tetaplah juara di hati mereka.
"Ibu sedih waktu mas bilang ada jengkol balado yang lebih enak dari buatan ibu," ujar Mayang melihat betapa lahapnya Gintang menyendok nasi.
"Kok sedih sih, bu? Bukannya seneng, aku jadi bisa inget ibu terus kalau lagi makan loh," ucap Gintang.
"Bukan sedih itu, mas. Ibu cemburu. Takut Mas Sulung lebih sayang sama jengkol balado di Jakarta daripada di Jawa Tengah. Tapi ini bukan tentang jengkol ..." kekeh Gilang menyuap nasi sembari melirik Gintang.
"Here we go!" Gita menggerlingkan mata jenaka. "Who's that girl, mas? Cantik mana sama aku?" godanya.
"Kalau cantik sih ya pasti cantikan kamu, cah ayu ..." ujar Gilang bersandar kekenyangan. "Kalau anak ayah sih udah pasti paling cantik sejagad raya. Bibit unggul gitu loh. Iya kan, bu?"
"Iya - bibit unggul. Subur. Makanya kebun hidropinik bisa jadi seluas lapangan bola gitu di tangan ayah. Tadinya cuma penyaluran hobi nenek Dahlia eehh malah jadi bisnis miliaran," tutur Mayang.
"Kantor beneran aman, mas? Urusan dengan Pak Wisnu sudah beres? Sayang sih, tapi ya sudahlah ..." ucap Gilang seraya memberi kode untuk berpindah ruangan. Sementara para wanita membereskan meja makan dan memotong kue.
Bersamaan dengan itu Pak Budiman datang sembari memegangi pinggang. Hendak mengambil kue wortel buatan Mayang yang dibuat untuk istri dan anaknya. Pria yang secara usia lebih muda dari Gilang itu tersenyum dan mengangguk saat berpapasan dengan Gintang.
"Pak Budiman sakit pinggang kenapa, yah?" bisik Gintang menoleh ayahnya, saat mereka masuk ke ruang kerja Gilang.
"Biasa lah. Suami istri kalau ngga bisa saling mengimbangi dan memahami juga sulit. Istri maksa suami buat naik-naik terus apa ngga repot?" Gilang menghela napas.
"Umur udah lewat kepala empat. Mbak Tini nyuruh Pak Budiman naik atap buat benerin genteng bocor. Padahal kamu tahu sendiri kalau Pak Budiman itu takut ketinggian. Jatuh deh. Terus pinggangnya kena ..."
"Oh, naik genteng ... kirain apa," lirih Gintang menghempas bokongnya di sofa panjang.
"Yah ..." panggil Gintang malu-malu.
"Yes, my son! Cerita, mas ... cerita ..."
---
Hai, readers!
Mohon maaf, demi kepentingan penerbitan, maka sebagian isi novel Bantal, Kopi dan Teman Tidur akan dihapus dari wattpad!
Cerita lengkap Gintang dan Mara segera bisa dipeluk dalam bentuk novel cetak. 😊😊😊
Doakan awal tahun 2024 sudah bisa buat pengumuman open po ya. Salam Stoberi/Fredy_ GoldenBrown
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...