"Tolong jangan mengecewakan, ayah!" Pesan Gilang yang penuh penekanan itu terngiang terus di telinga Gintang.
Malam-malam yang selama ini dia lalui dengan susah payah, kini bertambah sulit. Pikirannya penuh. Mumet!
Gintang bolak balik - keluar masuk kamar. Mengisi gelas dengan air dingin, menaruhnya di nakas kamar dan keluar lagi. Mengambil camilan, menyalakan televisi, menonton tapi tidak sama sekali menyentuh camilan yang tadi diambilnya.
Nyeri di dadanya terasa lagi. Gintang melesakkan punggung ke sandaran sofa. Sebisa mungkin mengatur napas agar nyeri tersebut tidak menyesakkan dadanya.
Gintang menggelengkan kepalanya. Dia teringat sebotol anti depressant dan anti nyeri yang tersimpan di dashboard mobil juga bagian terdalam laci nakas di kamarnya. Dia sudah bertekad tak mau kecanduan lagi dengan obat-obatan yang bisa merusak ginjalnya itu.
Gintang gelisah di sofa ditemani televisi yang 'menonton' dia yang tengah kesakitan. Hingga akhirnya Gintang terlelap pukul 03.00 subuh dan terbangun lagi pukul 05.00, bersiap menuju kantor.
***
"Dua hari lagi saya akan ke lokasi bersama tim yang akan mengerjakan interior kamar. Kita akan menyelesaikan satu kamar replika dulu untuk promosi kan?" tanya Gintang menyeruput americano double shot yang dibawakan Mara - dari kedai kopi.
Sesuai janji kepada ayahnya, Gintang sudah menghubungi Dini dan membuat janji pertemuan ulang membahas proyek apartemen. Dengan alasan ada pembicaraan penting yang tidak boleh sampai terdengar oleh pihak luar, maka Gintang mengatur pertemuan mereka di ruangan kantornya - bersama Wisnu Kusuma.
"Sure, Gintang! Lusa Dini akan menemani kamu keliling proyek. Sudah ada sekitar dua puluh unit yang bisa kamu lihat-lihat," ujar Wisnu.
"Permisi ..." Mara masuk ke ruangan membawa cangkir teh ketiga untuk Dini.
Dan setiap kali Mara masuk ke ruangan, Dini yang duduk di sebelah Gintang dengan sengaja menempeli pria itu dan bersuara manja.
"Ah, datang juga tehnya. Haus nih ..." Wanita stylish itu mengelus-elus lehernya.
"Silahkan, Bu Dini. Pak Wisnu mau tambah kopinya?" tanya Mara tersenyum ramah.
"Saya cukup, Nona Mara. Lambung saya sudah terlalu tua untuk menerima banyak kafein," tolak Wisnu.
"Bu Dini - apa ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Mara.
Pliiis, jawab aja ngga usah. Capek aku dari tadi bolak balik.
"Oh iya, aku lihat pas di luar tadi eemm ... dekat gerbang masuk kantor, ada yang jual buah potong gitu ya? Boleh beliin ngga? Jam segini aku biasanya udah makan buah," ujar Dini mengguncang lengan Gintang.
"Mara, tolong ya ..." ucap Gintang dengan perasaan tak enak. Tapi dia juga punya satu beban yang sudah dipesankan Gilang kepadanya.
"Baik, pak. Bu Dini mau dibelikan buah apa? Semangka? Melon? Nanas? Buah naga atau ... mengkudu?" tanya Mara tersenyum sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...