Mara berangkat kerja dua jam lebih awal dari biasanya. Membawa nasi kuning dengan telur utuh, americano double shot, kemudian menaruhnya di meja kerja Gintang. Hari itu dia bertekad bulat menghindari sesi bertatapan muka hanya berdua dengan Gintang - sebanyak yang dia bisa.
Seolah Tuhan menjawab doanya, dua jam sudah Mara berdiam di ruangan dan dia tak terdengar sedikit pun tanda-tanda kesibukan dari ruangan seberang. Mengintip susunan jadwal Gintang hari ini, seharusnya jam satu nanti Pak Boss menghadiri sebuah rapat.
"Ingetin ke sana atau ngga ya? Ah, nanti saja deh. Kalau Pak Boss butuh diingatkan juga biasanya dia telepon lewat ekstensi. Udah jangan diganggu dulu. Dia pasti lagi sibuk," gumam Mara mencari-cari alasan. Diapun mengetukkan lagi jemarinya ke atas keyboard laptop.
Jam ketiga tanpa panggilan dari Gintang berlalu begitu saja. Dan barulah Mara merasa sepi. Dipandangnya telepon analog yang teronggok dingin di meja kerja. Berharap benda itu berbunyi, sekali saja. Agar dia ada alasan menyeberang meski sambil menundukkan kepala.
"Aih! Sebenernya dia datang ke kantor atau ngga sih? Kok diem-diem aja? Dia udah makan nasi kuning belum? Americano? Aduh, apa jangan-jangan dada dia sakit lagi? Terus pingsan di ruangan?" Mara menggulung bibirnya.
Dia teringat lagi kata-kata Reno, tentang alasan kenapa dia digaji berkali lipat lebih besar dari setingkat manajer sekalipun di kantor itu. Karena, salah satu tugas dia, harus bisa menjaga Gintang disegala kondisi.
"Oh, ya ampun!" Mara memundurkan kursinya.
Pikirannya seketika mengarah pada berbagai kemungkinan negatif yang bisa menyerang Gintang. Terlebih setelah pria itu bercerita tentang penyakit yang dia derita akibat kecelakaan semasa remaja.
Mara berjalan tergesa ke ruangan Gintang yang tak pernah di kunci, kecuali saat jam pulang kerja. Dengan niat tulus menjalankan tugas sebagai seorang karyawan, Mara mendorong pintu Gintang dan tercengang.
"Pak Boss ..." sapa Mara pelan.
Entah ke mana jas yang biasa dipakai pria itu? Dan baru kali ini juga Mara melihat Gintang membaca buku tebal serta ... sejak kapan pria itu memakai kacamata bunder?
Itu ... itu terlalu ganteng, Tuhan! Apa aku setuju saja buat mengundurkan diri dari sini? Pekerjaan ini terlalu berat. Bisa-bisa aku kena serangan jantung terus tiap hari. Astaga! Aku belum mau mati muda.
Mara memegangi dadanya.
"Oh, hai! Kamu siapa?" tanya Gintang yang duduk di singgasana kerja Gintang.
Beneran resign aja deh! Pulang ditolak dari rumah aku, dia kejedot tiang listrik kali ya?
"Oh, maaf. Kamu pasti sekretaris baru Gintang yang diceritain ayah. Maaf ya, saya kebiasaan lihat Pak Reno di sini." Pria berwajah Gintang melipat buku tebalnya.
Mara berdecih. "Pak Boss ngga usah ngadi-ngadi deh. Bapak ngga lagi latihan ludruk kan?"
Gintang tak bergeming. Dia mengerucutkan bibir dengan lucu. Tapi, tak mengatakan apapun untuk menyahuti Mara.
"Fine! Saya ngaku salah udah banting pintu kemarin. Abis saya kesel banget, pak. Maaf juga udah jemput Rena sendirian, tapi saya berani sumpah kalau Rena nyampe rumah dengan selamat tanpa kekurangan satu apapun. Amin!" Mara terengah oleh penuturannya sendiri.
Gintang berkacamata itu tergelak. "Bener kata ayah, sekretaris Gintang yang baru lucu. Cute ala-ala ..."
Mara terbengong. Idiihh ... Pak Boss beneran kejedot tiang listrik ini sih!
"Maaf bikin kamu bingung. Mari kita kenalan dulu. Saya Gumarang Mahendra. Kembaran Gintang Mahendra," ucap Gumarang seraya bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Mara.
"Ke - kembaran ..." Mara mundur satu langkah.
Gumarang menunggu sedetik sebelum lanjut berkata, "Iya, kembar. Bukan salah kamu juga sih kalau sampai ngga tahu. Ayah sengaja tidak mau mengekspose anaknya selain yang berkecimpung di dunia bisnis. Jadi, kamu mau kenalan sama saya ngga nih?"
Tatapan Mara turun mengamati tangan mulus Gumarang yang terulur kepadanya. Mara takut. Dia takut minder kalau harus bersalaman dengan tangan yang sepertinya belum pernah terpapar sabun pencuci piring itu.
"Kenapa takut? Saya bukan hantu ..." Gumarang terkikik.
Perlahan Mara menyambut uluran tangan Gumarang. Dan napasnya berhenti seperempat detik saat telapak tangan mereka bersentuhan.
Duh, gusti! Halus banget kek pantat bayi.
Gumarang melepaskan genggaman tangan lemas Mara lebih dulu dan menarik senyum lebar. "Iya. Ternyata memang kamu," ucapnya.
"Ha? Saya kenapa, pak? Aduh, pasti bapak juga mau marahin saya gara-gara Bu Dini ya? Sekali lagi saya minta maaf, pak. Tolong masalah ini jangan diperpanjang lagi." Mara memohon dengan dua tangan menangkup di depan dada.
"Sungguh! Saya itu cuma miskin masalah duit kok, bukan miskin mental. Menjadi pelakor itu bukan tujuan hidup saya, pak. Saya lulusan terbaik teknik sipil dan masih punya cita-cita buat jadi konsultan konstruksi bangunan. Ngga lebih hebat dari Bu Dini yang calon istri Pak Boss sih. Tapi, cita-cita saya lumayan mulia, pak."
Mara tak peduli lagi dengan ucapannya yang mungkin akan dianggap ngalor-ngidul-wetan-kulon. Pokoknya dia hanya ingin meluruskan kesalahpahaman ini dengan selurus-lurusnya.
"Menarik juga. Dini? Calon istri? Saya malah ngerasa kamu yang calon istri Gintang," ucap Gumarang.
"Eskusmi (Excuse me/permisi/maaf), pak?" Mara terhenyak.
Ini yang punya ruangan kemana sih? Kenapa malah ada cowok ngaku-ngaku sebagai kembaran terus nodong orang jadi calon istri. Sungguh lucu dunia tipu-tipu!
"Beberapa hari lalu - saat tengah malam, saya pernah merasa sangat tenang ..." ujar Gumarang seraya duduk di sofa tunggal yang ada di ruangan itu. Mara berdiri waspada, mengawasi setiap gerakan Gumarang.
"Saya belum pernah setenang itu lagi sejak Gintang mulai menjabat sebagai CEO Mahendra Grup. Namun, setiap kali ditanya, 'semalam tidur nyenyak apa ngga', Gintang pasti jawab, 'nyenyak'. Padahal dari dulu semua anggota keluarga tahu, kalau saya yang paling peka sama keadaan dia." Gumarang meringis. Kedatangan dia ke tempat itu punya misi dan tujuan khusus.
"Malam itu berbeda sekali. Saya yang biasanya ikut terbangun kalau Gintang mulai gelisah, tertidur lelap tanpa gangguan. Lalu, bangun keesokan hari dengan perasaan senang yang berlipat ganda."
Mara berdiri gugup, menggaruk-garuk pipi. Saat ini otaknya masih berhenti pada kata 'calon istri' yang membuat cuping hidungnya mekar.
"Saat itulah saya tahu kalau Gintang sedang jatuh cinta. Awalnya, saya ke sini untuk bertanya langsung sama dia, siapa wanita yang sudah bisa membuatnya tertidur selelap itu? Tetapi, saya keburu dapat jawaban pas menyentuh telapak tangan kamu," jelas Gumarang.
Mara lekas memicing telapak tangannya dengan tatapan curiga bercampur sedih.
Telapak tangan, kamu ketahuan terpapar sabun colek, deterjen bubuk sasetan dan sabun cuci piring kiloan. Kasihan!
"Gintang itu kuat diluar, tapi rapuh didalam. Mungkin bukan asal-asalan juga Pak Reno memilih kamu. Gintang memang harus berdampingan dengan seorang wanita hebat yang penyayang. Nah, kalau sudah begitu, Gintang ngga butuh kopi dan bantal lagi deh. Dia cuma butuh teman tidur." Gumarang tersenyum lembut.
"Gum? Kamu sudah datang? Sorry, mendadak ada tamu. Kamu mau minum ap ---"
Kata-kata Gintang berhenti saat dia melihat sosok Mara berdiri tak jauh dari Gumarang. Kemeja kuning cerah dan rok selutut yang dikenakan Mara membuat dia gelisah.
Mara sama tercegangnya. Dia menengok bergantian Gintang yang berdiri tegap di batas pintu, lalu Gumarang yang duduk dengan menyilangkan kaki dan mendekap tangan di dada.
Oh, pantesan Bu Dini ngotot ngga mau ngelepas Pak Boss. Buy one get one begini sih siapa takut?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...