"Mara! Udah gila kamu! Ngapain kamu nampar saya?!" pekik Gintang tersadar dari lamunannya.
"Maaf, pak ... saya kira - saya kira bapak mati ..." ucap Mara dengan napas terengah.
"Mati?! Kamu nyumpahin saya?!" sentak Gintang. "Ingat! Kamu itu masih masa percobaan, Mara. Kalau saya tidak puas dengan kinerja kamu, saya bisa pecat kamu sekarang juga." Gintang menegakkan tubuh dan mengibas jasnya untuk menunjukkan kembali wibawanya sebagai boss.
Mara menghempaskan bokongnya di kursi depan meja kerja Gintang. Matanya berkaca-kaca, menyiratkan kekhawatirannya saat melihat Gintang duduk memegangi dadanya.
"Saya ... saya cuma khawatir sama bapak. Saya takut kalau sampai bapak kenapa-kenapa nanti ..."
Nanti saya gagal dapet lima puluh juta. Pengangguran lagi deh. Bikin pusing Ibu Cempaka lagi deh. Mara meringis dalam hati.
"Kamu jangan terlalu mengkhawatirkan saya, Mara. Ngga usah panikan dan kayak orang trauma begitu," ucap Gintang mencermati wajah Mara yang sedikit pucat.
Mara mengatupkan mulutnya. Benar juga. Peka dan pengertian dengan panik karena trauma itu beda-beda tipis. Dia yang berusaha peka dengan kesukaran Gintang tanpa sadar telah berubah menjadi ... terlalu peka.
"Maafkan saya, pak. Ini ... saya ke sini cuma mau bawain ini." Mara meletakkan sebuah bantal kecil di atas meja kerja Gintang. Bantal serupa yang pernah dia lihat saat wawancara aneh itu. "Bantalnya wangi aroma sweet lily, awetnya bisa sampe sebulan kata laundry dekat rumah saya."
Gintang mengernyit. "Laundry?"
Mara mengangguk-angguk. "Saya udah ciumin bantalnya tadi, pak. Akurat! Itu wangi laundry 'Cici Nyuci'. Mereka itu punya inovasi parfum laundry sendiri. Jadi wanginya beda dengan laundry-laundry lain, pak."
"Kamu kenapa jadi promosi toko orang?" Gintang mengerjap malas.
"Eh, pak. Emangnya Pak Reno tinggal deket rumah saya ya? Kok dia nge-laundry bantal di sana sih?" tanya Mara tanpa sadar melontarkan sebuah petunjuk baru.
"Tempat tinggal Reno?" Gintang menaruh ketertarikan lagi saat mendengar nama Reno diucapkan.
"Setahu saya sih Pak Reno tidak pernah investasi rumah di kota ini. Dia tinggal berpindah-pindah dari satu ..." Gintang memajukan kursinya dan mengamati Mara sesaat.
"Mara, apa rumah kamu dekat dengan semacam eemm ... apartemen lama?" tanyanya.
"Kalau apartemen lama yang bapak maksud itu ...." Mara memutar bola matanya.
Dalam waktu satu jam yang tidak bisa dibilang singkat karena macet di sana-sini, Gintang dan Mara tiba di apartemen lama menurut versi Gintang yang terdengar lebih sopan ketimbang ...
"Rusun Lonte ..." ucap Mara di depan sebuah deret hunian bertingkat dengan tali-tali jemuran menjuntai di tiang-tiang.
"Lonte?!" pekik Gintang terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
عاطفية[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...