"Nama bapak Reno juga?" tanya Gintang menunjuk pria di depannya.
"Iya, benar. Bapak ini suruhan siapa ya? Mau nagih utang atau mau pesan lele buat jualan?" ujar pria itu memindai Gintang atas ke bawah.
Tukang pecel lele mana yang pakai kemeja rapi? Kulitnya mulus begitu. Mana wangi kembang bukan minyak jelantah? Sepatunya kulit buaya lagi. Kawe apa asli tuh?
"Saya dari Mahendra Grup, pak. Apa mungkin bapak kenal Reno lain di rusun ini? Saya ada perlu penting sama ..."
"Ah, kalau saya lihat sih kayaknya bapak ini ngga akan kenal sama Reno yang lagi kita cari deh," potong Mara. "Mending kita cari tempat lain saja ya, Pak Boss."
"Setahu saya, Reno yang paling terkenal di rusun ini ya cuma saya, pak. Supplier lele dumbo sejak tahun dua ribu," ucap Reno kawe sembari mengacungkan dua jarinya.
"Tuh, bener ngga kenal. Kita pergi aja yuk, pak. Kita salah orang nih." Mara tak dapat menyembunyikan raut bahagianya.
Udahlah. Ngga usah ada Reno - Reno-an lagi. Bikin ketar ketir aja. Aku belum siap menyandang gelar karyawan tersingkat nih.
Gintang menoleh Mara yang ribut mengajaknya pergi. Mereka saling pandang dan membisu cukup lama. Mungkin dalam pikiran Gintang, 'rese banget nih cewe! Yang boss itu aku atau dia sih?'. Kemudian tersenyum tipis separuh pasrah dan beralih lagi menatap pria di gawang pintu.
"Maaf sudah mengganggu waktu santai, bapak. Kami permisi." Gintang mengangguk sopan.
"Permisi, pak ..." Mara ikut mengangguk sebelum berlalu.
Menuruni tangga tanpa suara, Gintang berjalan lurus tanpa berniat mengecek Mara yang mengekor di belakangnya dengan wajah cerah.
Meski dia bersorak karena gagal berkesempatan mendapat surat pemecatan, dalam hati Mara agak tidak tega juga dengan wajah murung Gintang. Dia memandangi punggung tegap Gintang yang pastinya enak buat dipeluk dari belakang sembari menerawang.
"Pak, Boss ... kita mau ke mana sekarang?" tanya Mara.
"Kita kembali ke kantor. Kamu yang nyetir ya," sahut Gintang menatap lurus ke depan.
"Baik, pak. Apa bapak mau mampir ke suatu tempat dulu? Beli camilan sore, misal?" Mara bertanya ngarep. Sekarang dia baru merasa lagi kalau perutnya lapar.
"Kamu pilih saja mau makan apa, kita bisa mampir sebentar pas di jalan," ucap Gintang.
Mereka sudah sampai di lantai bawah. Gintang lekas mengarahkan langkahnya ke tempat parkir mobil. Namun, angin tiba-tiba berhembus kencang, mengibaskan rambut panjang Mara dan tubuh tinggi Gintang pun tak dapat menghalau terpaan angin bercampur debu yang menyerang mereka.
"Aduuuh ... mata aku ..." Mara mengaduh sembari mengucek matanya.
"Kamu kenapa, Mara?" Gintang serempak menengok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...