Malam lima hari yang lalu, Gintang pulang dalam keadaan lesu dan gelisah. Cempaka yang sudah sadarkan diri tidak memperbolehkan Gintang masuk ke rumah karena sudah malam.
Sedangkan Mara kembali berderai air mata saat melihat ibunya duduk dengan wajah pucat di kursi warung. Tiur yang baru kali itu bertemu dengan Gintang akhirnya berinisiatif menjelaskan kepada pria itu tentang apa yang terjadi.
Dari Tiur lah Gintang mendapatkan surat penggusuran ilegal yang dibawa-bawa petugas bayaran. Gintang berterima kasih dan mengambil surat tersebut.
Lalu, keesokan harinya, setelah memberitahukan alamat tempat tinggal Mara kepada anggota Kebut Benjut yang membetulkan motor matic wanita itu, Gintang lekas menyelidiki dalang dibalik terror penggusuran.
Dengan bantuan rekanannya yang tersebar diberbagai profesi, dalam sekejap saja Gintang sudah mengantongi segala informasi yang dia butuhkan.
Selama menyelidiki tentang penggusuran itu, Gintang juga mencari tahu tentang Mara. Dia memeriksa ulang surat lamaran dan curiculum vitae (CV) yang dulu dikirimkan Mara ke emailnya.
Lulusan teknik sipil dengan nilai sempurna. Pernah magang kerja dibeberapa perusahaan kontraktor, yang salah satunya dalam waktu dekat ini akan bekerjasama dengan Mahendra Grup. Dia juga menyertakan sertifikat penghargaaan dan keikutsertaan dalam seminar nasional inovasi infrastruktur bangunan.
Tamara Lovanta, sekretaris yang selama ini dia anggap panikan, sederhana dan selalu berbicara apa adanya, ternyata punya sebuah pemikiran yang tidak sederhana. Dan, dari alamat email : tamara_lovanta@xmail.com yang terhubung dengan media sosial Mara, Gintang menemukan ada banyak opini-opini - buah pemikiran Mara - tentang berbagai konstruksi bangunan yang dia bagikan di sana.
Selain itu, Gintang juga sudah mendengar dari Gumarang yang sempat mengobrol dengan Mara, kalau wanita itu punya mimpi besar di bidang konstruksi dan masih bercita-cita untuk mewujudkannya.
Mungkin takdir Tuhan juga kenapa selalu menggagalkan usaha wanita itu saat melamar kerja di perusahaan konstruksi besar. Hingga nekat menanggalkan ijazahnya dan menjadi seorang sekretaris CEO. Mara layak dapat yang luar biasa dengan kecerdasan dan ketekunannya itu.
"Kalau begitu, biar aku yang bantu kamu, Mara ..." ujar Gintang sebelum akhirnya dia bergerak mengurus pembelian tanah dengan bermodalkan KTP Mara yang dia dapatkan dari dokter hewan.
***
Mara menatap lembaran sertifikat tanah yang bertuliskan namanya dengan tangan gemetar. Pikirannya masih nyangkut pada adegan brutal mengobrak-abrik Warung Nasi Ibu Cempaka. Dia juga tidak tahu Rena kabur ke mana setelah terlepas dari pelukannya dan kena tendang sepatu bersol tebal.
"Mara kamu duduk saja ya. Mau saya ambilkan minum? Kamu pucet banget ..." ucap Gintang, merapikan rambut Mara yang berantakan.
Tak jauh dari mereka, petugas polisi mengamankan tiga orang oknum penggusuran itu. Seorang petugas lain membantu Cempaka berdiri dan duduk di sebuah kursi plastik.
"Ini untuk apa?" tanya Mara tak mengerti lagi harus berkata apa.
"Ini?" ucap Gintang menunjuk lembaran kertas di tangan Mara. "Hmm ... ini untuk mewujudkan semua cita-cita kamu."
Cita-cita apa sih? Pak Boss sok tahu banget. Aku sendiri udah mulai lupa punya cita-cita apa. Oh ya, aku punya cita-cita jadi anak berbakti. Iya, itu aja sih ...
"Di tanah tiga hektar itu, kamu bisa mendirikan bangunan apapun yang kamu mau. Apartemen ramah lingkungan dengan harga miring untuk masyarakat menengah? Pusat perkantoran dan bisnis? Bebas! Kamu arsiteknya, kamu kontraktor sipilnya," papar Gintang.
"Tapi - saya ngga punya uang buat membangun tanah tiga hektar. Dengan gaji lima puluh juta sebulan, mungkin buat peletakan batu pertama aja saya butuh ngumpulin uang selama ratusan tahun dulu," ucap Mara, mendorong lembaran surat tersebut ke dada Gintang.
"Ambil. Bawa aja sama kamu. Saya ngga pantes nerima ini semua. Asal tidak digusur dari sini saja saya dan ibu udah senang. Terimakasih ya ..." ucapnya terisak.
"Saya ..." Gintang terhenyak dengan penolakan Mara. "Saya melakukan ini bukan semata-mata kamu sekretaris saya. Beda dengan perlakuan Pak Gilang ke Pak Reno yang sudah dianggap seperti saudara sendiri. Beda, Mara ..."
"Maaf, Gintang. Saya rasanya ngga sanggup kalau harus berurusan lagi dengan orang kaya. Terlalu rumit dan lelah buat orang seperti kami."
"No, Mara! No!" Mata Gintang bergetar panik. "Orang seperti kami apa maksudnya? Kamu dan saya sama - ngga ada beda. Masih sama-sama suka makan nasi kuning, jengkol balado, wedang ronde, kue coklat ... dan kamu harus coba kebab asli turki buatan istri rekan bisnis saya."
"Pliss ... kamu ngga boleh menolak pemberian saya, Mara. Saya mohon," pinta Gintang.
Mara menatap penampilan pria rupawan di depannya. Jas mahal, celana licin, sepatu kulit buaya - semoga saja itu kulit buaya darat, lumayan biar cepat punah. Bahkan parfum branded paling terkenal pun kalah dengan wangi tubuh Gintang yang berbau uang.
Rasanya terlalu ngga tahu diri kalau upik abu kayak aku berharap bisa bersanding sama pangeran kayak kamu, Gintang.
"Gintang ... di kantor, kamu itu boss saya. Di luar kantor, kita bisa jadi teman. Saya bisa nemenin kamu makan wedang ronde di bukit bintang, nemenin ngobrol sampai kamu ngantuk. Tapi, kalau buat nerima pemberian sebesar ini, saya takut ngga bisa membalas hutang budi yang dibawa sampai mati."
"Mara, pliss ..."
"Gintang, pliss ..." potong Mara. "Warung nasi ibu saya berantakan. Saya mau beresin dulu biar bisa dipakai jualan lagi." Mara mengalihkan pandangannya dari Gintang.
Gintang menarik hembuskan napas. Hatinya perih. Seakan kehabisan kata-kata, Gintang meletakkan lembaran surat bangunan dan tanah ke atas meja warung.
"Saya taruh semua di sini. Tolong kamu pikirkan baik-baik. Kalau kamu mau nolak, tolong pikirkan alasan yang lebih masuk akal buat saya. Ngga tahu kamu denger apa ngga, saya tadi udah bilang kalau saya sayang sama kamu. Permisi ..."
Gintang keluar dari warung nasi dengan perasaan perih. Pengalaman pertamanya menyatakan cinta berakhir ditolak. Namun, penolakan itu malah membuat Gintang semakin mengagumi Mara.
Mara bukan tipe wanita matrealistis yang langsung mengangguk dan memeluk saat disodorkan surat kepemilikan senilai miliaran rupiah. Wanita itu malah mengatakan tak punya uang untuk membangun lahan tiga hektar dan juga takut tak sempat balas budi kalau keburu mati.
---
Hai, readers!Mohon maaf, demi kepentingan penerbitan, maka sebagian isi novel Bantal, Kopi dan Teman Tidur akan dihapus dari wattpad!
Cerita lengkap Gintang dan Mara segera bisa dipeluk dalam bentuk novel cetak. 😊😊😊
Doakan awal tahun 2024 sudah bisa buat pengumuman open po ya. Salam Stoberi/Fredy_ GoldenBrown
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...