"Hebat! Saya suka bekerja sama dengan pengusaha muda. Pak Gintang bikin saya teringat awal-awal merintis karir sebagai pengusaha properti. Full spirit, innovative, kritis dan cerdik menangkap peluang. Pertahankan!" ujar seorang pria berjas menyalami Gintang kuat-kuat.
"Saya juga bangga bisa menjalin kerja sama dengan pengusaha senior yang menginspirasi seperti Pak Ilham." Gintang balas menyalami Pak Ilham sembari tersenyum lebar.
"Terlepas kerja sama dengan Mahendra Grup, saya tetap mengharapkan bantuan bapak untuk membantu Mara dalam proyek pribadinya," tambah Gintang.
"Oh, tentu saja. Kalau Nona Mara sudah punya rancangan untuk tanah tiga hektar itu, kontak saya saja. Nanti kita diskusikan kembali lain-lainnya," sahut Ilham beralih menyalami Mara.
"I - iya, pak. Terimakasih," ujar Mara.
Mengangguk-angguk, seakan memahami maksud ucapan Gintang dan Ihlam. Padahal sesungguhnya, dia masih berusaha mengumpulkan nyawa yang tertinggal di ruang rapat.
Dalam satu jam rapat yang dipimpin Gintang, selama setengah jam itu mereka tampak serius membahas detail kerja sama bisnis Mahendra Grup dengan perusahaan properti milik Ilham.
Setengah jam berikutnya, Gintang mulai menyinggung tentang kepemilikan Mara akan tiga hektar lahan kosong disekitar area ruko. Juga dengan luwes Gintang menceritakan latar belakang pendidikan dan keinginan-keinginan Mara - terkait arsitektur - yang tertuang di beranda akun medis sosial wanita itu.
"Kalau begitu saya permisi, Gintang ... Mara ..." Ilham mengedipkan sebelah mata saat bersitatap dengan Mara.
Melihat adanya sinyal berbahaya dari pria senior yang berpotensi menyukai daun muda, Gintang lekas merangkulkan tangannya ke pundak Mara. Ilham berdehem sebelum berbalik menghadap pintu lift.
"Pak, kenapa berlebihan gini sih?" tanya Mara sesaat setelah Ilham menghilang lebih dulu di balik pintu lift.
"Berlebihan gimana, Mara?" tanya Gintang. Tangannya masih tersangkut di pundak Mara.
"Saya aja belum yakin bakal sanggup nerima tanah itu apa ngga, sekarang bapak malah udah panggil kontraktor besar buat bantuin saya," ujar Mara melirik tangan Gintang yang sedikit mengusap pundaknya.
Wuaaduuhh ... itu tangan udah makin berani merajalela! Kuat, Mara! Kuat!
"Bentar lagi kamu pasti akan yakin, Mara. Tunggu saja. Semua sedang dalam perjalanan," ujar Gintang setengah berbisik, lalu mengintip jam di pergelangan tangannya.
"Jam enam saya antar kamu pulang. Sekarang kita kembali ke ruangan. Masih ada sedikit waktu sambil siap-siap," sambungnya sembari mendorong Mara masuk lift.
"Siap-siap? Pulang kerja bapak ada janji dengan tamu lain? Atau ada jadwal pertemuan yang lupa saya catat? Maaf kalau banyak yang terlewat, pak ..."
"Ngga ada yang terlewat kok, Mara. Tamu saya terakhir hari ini memang cuma Pak Ilham tadi. Sekarang kamu tunggu saja di ruangan ya. Kalau udah ngga ada yang dikerjakan, lakukan saja apapun yang kamu suka. Asalkan kamu jangan pulang duluan. Okay?" ujar Gintang.
Mara diam saja. Otaknya beku! Dia benar-benar harus lekas kembali ke ruangan. Sebelum lututnya semakin lemas, tak kuasa dengan usapan-usapan tangan Gintang yang sekarang turun ke pinggangnya.
"Permisi, pak ..." ujar Mara lekas berlari saat pintu lift terbuka.
Gintang tertawa-tawa memandangi Mara yang berlari sambil menunduk salah tingkah. Dan, hampir saja wanita itu salah membuka pintu ruangan CEO. Gintang tertawa semakin lebar dan lekas menyusul Mara yang buru-buru masuk ke ruangan sekretaris.
Pukul 17.00, Mara sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Berpegang pada titah Gintang yang menyuruhnya menunggu sampai pukul enam, Mara pun melakukan apa yang bisa dia lakukan dia ruangan itu.
Dia merapikan meja kerja dan mengelapnya. Memasukkan tumpukan kertas yang sudah tidak berguna ke dalam kardus untuk diangkut office boy, dan selebihnya dia membuka-buka katalog produk Mahendra Grup yang desainnya membuat dia terkagum-kagum.
Di dalam ruangannya, Gintang tak berhenti tersenyum mengintip semua yang dilakukan Mara. Sedikit geli membayangkan kalau dia sudah seperti penjahat yang sedang mengawasi tawanan dari kamera cctv.
Tak lama kemudian, dia berpaling dari layar tablet saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Gintang tersenyum sekilas, lalu bergegas menyambar kunci mobil serta jas abu-abu yang tergantung di standing hanger dan mengetuk pintu ruangan Mara.
"Kita pulang sekarang. Udah ada yang nunggu ..." ujar Gintang.
Tanpa prasangka apapun, Mara berjalan mengekori Gintang dengan patuh. Paling juga yang dimaksud Gintang 'udah nunggu' itu ibunya dan Rena. Atau nasi goreng buatan ibu? Dia mau numpang makan malam sekalian kali.
Ban mobil Gintang menggilas jalan berbatu menuju komplek ruko tempat tinggal Mara dengan berani. Satu meter sebelum gerbang masuk, Mara dikejutkan oleh penampakan yang membuat jantungnya terlonjak.
"Pak! Pak! Coba berhenti dulu ... itu motor matic saya kan? Itu motor saya, pak!" Mara menunjuk-nunjuk harta karunnya yang terparkir kesepian.
"Masa sih? Bukannya motor kamu hilang?" tanya Gintang melirik penuh arti.
"Tapi itu mirip banget motor saya, pak. Tuh! Keliatan ada stiker helawkitti di dekat lampu. Saya mau turun, pak ..." Mara membuka pintu dan melompat menghampiri motor yang seratus persen memang punya dia.
"Pak! Beneran motor saya nih! Duuuhh ... selama ini kamu di mana, bebi? Kamu ngga dijahatin kan? Ada yang luka ngga? Aduuhh kesian ..." cerocos Mara sembari sibuk meraba-raba motor kesayangannya.
"Ya udah kalau itu motor kamu! Minta security antarkan ke ruko saja. Kamu masuk mobil lagi sekarang," ujar Gintang melongokkan kepala dari jendela mobil.
"Pak, saya seneng banget motor saya ketemu ..." Mara berucap polos sesudah masuk mobil lagi.
"Iya." Gintang tersenyum, mengacak gemas pucuk kepala Mara. Mudah-mudahan Mara tidak pernah tahu kalau itu semua akal-akalan dia.
Mobil Gintang berbelok dan memasuki komplek ruko. Setelah dikejutkan kemunculan gaib motor matic bututnya, kali ini Mara melongo dengan mata membulat.
Terparkir jumawa di depan warung nasi Ibu Cempaka, dua buah mobil mewah berlogo 'M' yang familiar. Double melongo saat seorang wanita muda berwajah 'terlalu cantik' keluar dari ruko, menimang-nimang Rena dalam pelukan.
"Pak? Itu - itu siapa ya?" tanya Mara bingung.
"Itu adik perempuan saya - Gita Mahendra. Di dalam ruko pasti ada ayah dan ibu saya. Akhirnya kamu bisa kenalan juga sama pemilik katering yang tadi siang udah bikin kamu kekenyangan." Gintang tertawa kecil.
🍓 Resep #4 : Kapan ayah dan ibu boleh ketemu dia? Gas aja lah, mas! Kelamaan entar keburu dihalalin yang lain.
---
Hai, readers!
Mohon maaf, demi kepentingan penerbitan, maka sebagian isi novel Bantal, Kopi dan Teman Tidur akan dihapus dari wattpad!
Cerita lengkap Gintang dan Mara segera bisa dipeluk dalam bentuk novel cetak. 😊😊😊
Doakan awal tahun 2024 sudah bisa buat pengumuman open po ya. Salam Stoberi/Fredy_ GoldenBrown
KAMU SEDANG MEMBACA
Bantal, Kopi dan Teman Tidur
Romance[SUDAH TERBIT CETAK] "Sigap, cekatan dan sabar." Gintang Mahendra, seorang CEO muda yang tampan menyebutkan ketiga syarat itu sebagai pengganti sekretaris warisan ayahnya yang mengundurkan diri. Tergiur dengan syarat yang mudah, Tamara Lovanta melam...