Kedai Susu Pinggir Jalan

1.5K 100 45
                                    

Jam kerjanya telah usai dari 30 menit yang lalu. Namun, dirinya masih belum memiliki niat untuk beranjak pergi dari sana seperti rekan-rekannya. Ah-senior lebih tepatnya.

Sudah hampir dua minggu ini dia dan beberapa teman satu jurusannya, magang di salah satu kantor media online yang bahkan namanya masih asing di telinganya. Padahal, jika dilihat dari tahun berdirinya, media online ini cukup lama, sekitar delapan tahun yang lalu. Atau, untuk waktu segitu, hitungan masih terlalu dini sebagai salah satu media online? Dia lagi-lagi tak paham. Jurusannya pun tak mempermasalahkan tentang hal itu. Dia juga. Yang terpenting adalah mendapat tempat untuk praktik kerja lapangan yang tak jauh dari kampus juga kosnya.

Hal yang memang patut ia syukuri. Dia tak lagi perlu mencari kos di kota orang. Tak lagi perlu memikirkan pengeluaran yang membengkak untuk tiga bulan ke depan. Meskipun dia mampu untuk itu semua. Tapi dia bukan orang yang memandang remeh nilai mata uang. Dia tak pernah kekurangan. Orang tuanya mencukupi semua yang dia perlukan. Lebih dari cukup malah. Dia hanya perlu fokus menyelesaikan pendidikannya dan pulang ke kota asalnya.

"Hahh...."

Lepasan napas yang cukup panjang itu sedikit mengundang perhatian seseorang yang masih tinggal di sana.

Dia tak acuh. Dia hanya mencoba melepaskan secuil sesak yang melilit dadanya entah dari kapan.

"Bang, balik dulu." Pamitnya pada laki-laki yang lebih tua darinya.

Kaki jenjangnya dia ayunkan santai keluar kantor yang tak seberapa besar itu. Bangunan sederhana menyerupai rumah khas Belanda adalah kantor tempatnya magang saat ini. Entah harus berapa kali dia bersyukur atas takdirnya ini. Mendapat lokasi yang sedikit menepi dari keramaian, halaman yang cukup luas, serta sejuknya lingkungan sekitar, membuatnya serasa pulang ke rumah nenek, setiap ban motornya memasuki gerbang hitam sedada di depan sana.

Ada rindu yang selalu mencengkeram kuat setiap kali mengingat kampung halaman sang nenek. Rindu yang tak tahu kapan akan menuai temu. Banyak waktu luang yang dia miliki di beberapa bulan sebelum ini, namun, waktunya terasa sempit, saat berniat ingin mengunjungi.

"Navio!" Kepalanya yang sudah ia pasangi helm, menoleh.

Pria yang tadi ia pamiti, sedikit berlari kecil ke arahnya.

"Hp lo ketinggalan!"

Refleks dia meraba setiap saku yang ada dipakainya.

"Ck! Nih! Mau lo raba-raba sampe keluar jin, juga enggak bakal tiba-tiba pindah ke sana."

Dia tersenyum tipis mendengar ucapan itu, "Makasih, bang."

Laki-laki itu hanya mengangguk pelan, membiarkan dirinya berlalu setelah mengucap salam.

Jalanan sore ini, sudah cukup terurai. Dia sengaja berdiam diri tadi, agar tak ikut dalam antrean kendaraan yang selalu padat pada jam berangkat dan pulang kerja. Sebenarnya tak terlalu padat juga. Tidak seperti kota-kota besar lainnya.

Terdapat universitas cukup besar, tak lantas membuat kota ini seramai Tokyo. Berlebihan memang membandingkan kota ini dengan kota yang pernah ia kunjungi beberapa tahun yang lalu. Jelas jauh berbeda. Dia suka. Tak terlalu ramai, tak pula jauh dari peradaban manusia modern.

Dia masih bisa dengan mudah menemukan kafe, resto kekinian, street food yang ramai tak karuan, dan mall. Meski, dari tempatnya magang, harus menempuh sekitar satu jam dengan kondisi jalan normal untuk sampai mall.

*

Sedari tadi, sebenarnya dia masih berada di sekitar kantor. Laju motornya dia belokkan untuk berhenti di salah satu kedai susu yang hanya berjarak 500 meter dari kantor tempatnya magang.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang