Kapasitas Ikan Migrasi

474 68 26
                                    

Vio memelankan langkahnya sesaat sebelum sampai ke tempat Chika duduk. Dia pandangi gadis itu lekat dari jarak yang tak begitu jauh. Di tangannya sudah ada dua botol air minum yang baru saja ia beli dari pedagang asongan yang ada di lapangan itu.

Situasinya menjadi kurang enak setelah pertanyaan Chika usai pentas tadi.

Pertanyaan yang belum ia jawab dan memilih untuk membawa Chika ke sini. Ke lapangan yang kemarin ia dan Chika kunjungi. Lapangan dekat hotel berbintang yang memang menjadi wisata malam kota ini.

Riuh ramainya lokasi ini, sedikit mampu menyamarkan degup gugup yang jatungnya dentumkan. Ada rasa takut yang membungkus perasaannya. Rasa takut yang semakin kentara saat ia mendapati Chika bergeming sejak tadi.

Tatap mata sendu yang Chika tindihkan pada bola matanya, masih bisa ia lihat kendati tak sedang menatap netra cokelat yang warnanya samar di malam hari.

Hatinya berkecamuk tak karuan, mendengar Chika mempertanyakan hal yang tak ingin ia umbar ke hadapan perempuan itu.

"Kak?"

Panggilan Chika membuat dirinya gelagapan. Buru-buru dia berjalan menghampiri Chika dan duduk di atas rumput yang tak mereka lapisi apapun.

Dia letakan satu botol minumnya terlebih dahulu agar bisa dengan mudah membuka tutup botol yang akan dia berikan pada Chika. Sedikit gugup, tapi dia mampu untuk menguasai kegugupannya itu. Meski sejenak.

"Diminum dulu, ya." Perintahnya.

Di sana Chika hanya mengangguk, menerima sodoran minum yang Vio berikan, lantas meminumnya hingga beberapa tegukan.

Viopun melakukan hal yang sama. Dia tenggak air minum itu dengan semangat. Sialnya, ia hampir tersedak, saat punggung Chika bersandar pada lengannya.

Perempuan itu belum berbicara apapun. Membuat dirinya juga diam. Dia rasa, Chika masih butuh ruang untuk mempersiapkan diri atas jawaban yang dirinya beri nanti.

Di sini, dia mengakui memang bodoh, dia paham diamnya Chika pasti sedang menunggu jawaban darinya, tapi ia tak kunjung menjawab. Ia terkukung dalam rasa takut tak berkesudahan yang dirasakannya sejak tadi. Ia terlalu takut jika rasanya dipecundangi. Ia terlalu pengecut untuk menjelaskan hal yang sebenarnya bisa ia jelaskan tanpa membuat perasaan Chika terluka.

Tapi dia masih memilih diam. Memilih membiarkan pertanyaan Chika menguap di bawah langit gelap.

"Mau siapapun yang suka saya, kalau hati saya pilihnya kamu, mereka kalah."

Ada tawa kecil yang Chika gemakan setelah mendengar kalimat yang Vio lontarkan. Kalimat yang kemudian mampu mengubah arah duduk perempuan itu.

Chika terlihat menekuk lututnya sambil memandang ke arah depan, mengamati lalu lalang keramaian jalan raya di depan sana.

Sedang, Vio diam, memerhatikan wajah samping Chika yang dipahat oleh Tuhan begitu indah di matanya. Senyum tipis yang gadis itu sunggingkan, membuat darahnya berdesir begitu dingin.

"Jadi benar?" Tanya Chika yang langsung menolehkan kepala ke arahnya.

Vio sedikit terkejut tiba-tiba ditatap seperti itu oleh Chika. Membuat dirinya hanya sanggup mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan barusan, lebih tepatnya pertanyaan Chika sejak di depan ruang pentas Marsha tadi.

Ada lepasan napas yang Chika buang. Lepasan napas yang terdengar hingga telinga Vio.

Kendati ada senyum di wajah Chika, Vio yakin, perempuan itu hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Vio memang tak bisa melihat kerisauan tergambar di wajah Chika barang sejenak. Hatinya merasa bersalah atas ini semua. Meskipun ia sendiri tak tahu, apa dan siapa yang harus disalahkan di sini.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang