"Makasih ya, Kak," ucap Marsha yang baru saja turun dari motor Zein.
Dia melepas helmnya, kemudian memberikannya pada Zein yang sudah ikut turun dari motor bebeknya.
"Sama-sama. Lain kali nggak usah sungkan hubungin gue kalau lagi ada apa-apa," balas Zein.
Balasan yang mampu membuat Marsha tersenyum tipis di bibir, namun hatinya berteriak.
"Nanti abis ini, gue cek motor lo ke bengkel tadi,"
"Nggak usah ditungguin ya, Kak, biar gue ambil sendiri aja besok balik dari kampus,"
"Oh oke. By the way, gue boleh nanya sesuatu nggak?"
Belum sempat Marsha menjawab, Zein sudah menggandeng tangannya untuk mengikuti tungkai laki-laki itu menepi ke teras kedai.
Marsha hanya diam. Menatap Zein dari belakang dengan tatapan tak percayanya. Mengamati Zein dari belakang dengan debar dada yang tak karu-karuan rasanya.
"Agak gerimis, kepala lo nanti basah," kata Zein ketika mereka sudah ada di teras kedai yang terlindungi oleh kanopi berwarna hitam.
Garis bibirnya, ia kembangkan menjadi senyum rekah setelah mendengar kalimat dari Zein. Rasa kagum akan laki-laki ini, memang terus tumbuh di hati Marsha dari waktu ke waktu. Banyak hal-hal kecil yang Zein lakukan —yang bahkan bukan untuk dirinya— mampu menarik begitu kuat atensi hatinya. Mungkin sekarang hanya dia yang mendamba seorang diri, tapi Marsha yakin, suatu saat nanti, Zein pasti akan sadar, bahwa ada seseorang yang begitu besar menaruh perhatian padanya.
Bukan tak paham Zein menyukai Chika, sepupunya, dia paham, sangat paham. Dia pun sakit ketika Zein berlaku agung ke Chika, sahabatnya sendiri. Tapi dia terus bertahan atas rasa yang entah kapan terbalas. Sebab ia tahu, Chika tak sedikitpun menaruh hati pada Zein.
Mungkin sedikit egois, tapi ia rasa tak jahat juga. Ia senang ketika Vio hadir di tengah-tengah mereka. Ia bahagia ketika Vio memiliki ketertarikan pada Chika. Pun sebaliknya. Kedekatan Vio dan Chika, sedikit ada kesengajaan dari dirinya. Sedikit ada bau percomblangan yang ia ciptakan diam-diam.
Selain demi Chika, ini juga demi dirinya sendiri. Ia ingin, perhatian Zein teralih kepadanya ketika Chika sudah memiliki kekasih.
Namun, mungkin ia salah, berpikir Zein akan langsung tak lagi perhatian pada Chika. Karena pada kenyataannya, Zein masih saja menaruh atensi yang begitu besar pada Chika. Ya dia sadar, bagaimanapun juga, ada darah yang sama, yang mengalir dalam tubuh Zein dan Chika. Ada ruang persaudaraan yang tak Marsha bisa sekat di antara keduanya.
Tak apa, Marsha juga tak ingin terlalu memaksakan kehendak hatinya. Tak ingin terlalu bernafsu untuk menarik Zein agar cepat-cepat melihat ke arahnya. Ia masih akan sabar menanti Zein, menguapkan semua rasanya pada Chika.
"Hmm... Sha?" panggilan Zein membuat dirinya menoleh.
Bagian paling tak Marsha sukai adalah ketika matanya beradu pandang dengan Zein. Bola mata hitam yang terlihat berbinar, selalu menatap dalam lawan bicaranya. Marsha hafal, bagaimana pandang Zein ketika berbicara dengan siapapun. Mata itu, akan dengan saksama memperhatikan lawan bicara.
Ia suka, Marsha sangat suka dengan Zein yang selalu menaruh perhatian khusus pada lawan bicaranya. Ia suka dengan Zein yang benar-benar mendengarkan setiap kalimat yang disampaikan oleh orang di hadapannya. Tapi, ini juga yang membuat hati Marsha semakin bergejolak. Degup jantung yang tak normal, kerap membuat pikirannya acak-acakan, membuat setiap kalimat yang telah ia susun menguap. Sehingga dia kerap memilih untuk menatap ke depan, dibanding beradu pandang dengan Zein seperti sekarang ini.
"Chika nggak ada cerita apapun sama, lo?" tanya Zein.
Marsha tersenyum tipis, ia sudah menduga, jika pembicaraan ini, tak akan jauh dari Chika.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAPASITAS IKAN MIGRASI
Fiksi Penggemar"Di dunia yang sempit ini, ia akan terus mencintai tanpa batasan untuk satu orang. Hanya bisa cinta satu orang."