Ashellia Nada Maghribi - Bimbang Hati

284 32 3
                                    

Apa yang harus dia mulai malam ini? Sepertinya tidak ada. Kegiatan sore tadi dan sebelum duduk santai seperti sekarang cukup membuat isi kepalanya berkecamuk. Satu per satu hal yang ia temui sejak kedatangannya di sini, harus ia pahami semuanya. Termasuk air payau yang tidak nyaman di badannya saat ia gunakan mandi sore tadi.

Di teras penginapan yang disewa kantor magangnya, dia duduk sendirian. Tak sepenuhnya sendirian, sebab beberapa langkah di depan penginapannya ini, duduk teman laki-lakinya, sang mentor, dan dua warga, di atas bale-bale yang ada di bawah pohon ceri kampung. Bercampur dengan cahaya bulan malam ini, mereka berbincang di bawah penerangan lampu jalan yang temaram. Angin yang berembus dari tambak di depan sana, desisnya begitu kentara membisik telinga yang tak menerima suara manusia.

Dingin. Membuat tangannya menarik kain yang ia sampirkan di pundak untuk ia lilitkan ke dadanya. Ada segelas kopi yang mungkin sudah dingin di sampingnya. Kopi yang Aldo buatkan sebelum laki-laki itu ikut bergabung di bale-bale depan sana.

"Hhhh..." embusan napas Ashel lepas begitu berat.

Ada hal yang tak ia pahami dalam dirinya. Ia seperti kurang bisa membaca apa yang dimau benaknya. Di sini ia sadar, ada seseorang yang begitu jelas menunjukkan ketertarikan pada dirinya. Mata kepala bahkan mata kakinya bisa melihat itu semua. Sayangnya, hanya sebatas itu. Organ tak terjamahnya, belum bisa dijamah oleh semua tindak tunduk yang Aldo berikan. Ia takut sebenarnya. Takut hal semacam ini terulang untuk kedua kali atau bahkan kesekian kalinya.

Titik pekanya, ia tak tahu ada di mana. Ia selalu menyadari banyak hal dengan lambat bahkan terlambat. Tak ada yang pernah mau berada di keadaan semacam ini, termasuk dirinya. Menyakitkan, jelas. Siapa yang tak merasa tersayat ketika menyadari tengah merindukan perhatian yang pernah ditolaknya mentah-mentah bahkan diinjak-injaknya di depan si pemberi? Kini ia sedang dalam posisi ini.

Ia harus terima, ia sudah kehilangan satu perhatian yang dulu ia tolak dengan lantang. Ah, bukan hanya perhatian, tapi semua hal yang orang itu beri, hilang dari hidupnya. Sosok itu, masih bisa Ashel lihat menggunakan bola matanya dengan jelas. Tapi, ia tak lagi bisa mendapatkan banyak hal yang ia rindukan. Dan kini, hanya menyisakan rongga-rongga kerinduan yang mungkin tak akan pernah lagi terisi. Tak akan pernah lagi diisi oleh orang yang memilih untuk pergi meninggalkan rasa yang pernah ia pecundangi.

Ashel, bukan tak mau pergi, bukan tak mau membuang kembali rasa yang baru saja ia punguti. Sebab, bertahan hanya akan melukai diri sendiri. Tapi ia tak paham, kenapa ia masih betah berdiri pada posisi ini. Seperti tak apa berada di baris paling belakang, asal ia masih bisa mendengar gema suara sang tuan, meski pelan.

Hal yang paling menyakitkan sebenarnya bukan hanya itu. Bukan hanya tak lagi bisa merasakan perhatian dan kehangatan yang laki-laki itu berikan. Tapi juga, bagaimana sikap Vio yang kemudian menjelma menjadi sekat di antara mereka berdua. Berada di ruangan yang sama setiap harinya, berada dalam satu projek setiap saatnya, tak lantas bisa ia runtuhkan sekat pekat yang telah Vio letakan di tengah-tengah mereka.

Keputusan paling bodoh adalah mengemis rasa itu untuk kembali. Ia tahu, Vio bukan laki-laki bodoh yang rela berlutut untuk kali kedua setelah perasaannya ia pecundangi, ia ludahi, ia injak-injak seperti tak memiliki harga diri. Usaha Vio untuk mendapatkan perhatiannya, cukup lama. Bukan tak melihat bagaimana laki-laki itu berusaha, tapi ia terlambat untuk memahami semua yang Vio usahakan. Hatinya runtuh, cangkang keras yang ia ciptakan untuk melindungi hatinya hancur, setelah Vio memilih benar-benar pergi atas titahnya waktu itu.

Rasa kehilangan itu selalu ada. Selalu membayang pada setiap hal yang ia lakukan. Ia kehilangan pesan-pesan singkat berisi sapaan, peringatan, dan semangat yang selalu Vio berikan. Ia kehilangan tawaran pulang bersama ke kosan usai kelas. Ia kehilangan sosok yang selalu di sampingnya, ketika duduk di depan jurusan menanti kawan. Dan ia benar-benar kehilangan Vio, setelah ia mencampakkan laki-laki itu, dengan perkataan yang mungkin, sampai sekarang lukanya masih menganga.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang