Sisi yang Lain

440 70 35
                                    

Sudah ada puluhan chat dan panggilan yang masuk ke ponselnya sejak dua jam yang lalu. Dia sudah membalas dan mengatakan bahwa jam magangnya belum selesai. Namun sepertinya, adik kecilnya itu tidak peduli dan terus mengirimkan pesan dengan kalimat-kalimat rengekan agar ia cepat datang ke tempat yang telah ia janjikan.

Dirinya hanya bisa melepas napas panjang dan mengusap dadanya berulang kali agar sabarnya dipertebal. Hingga dia putuskan untuk memasukkan ponselnya ke dalam tas, agar ia tak melihat layar ponselnya menyala setiap detik karena pesan sang adik.

Dia kembali melepas napas panjang, sembari menggeleng dan tersenyum geli. Dia tidak bisa jengkel terhadap adiknya. Sama sekali tidak. Dia tidak kesal akan pesan menumpuk yang adiknya kirim. Justru dia khawatir, khawatir jika anak itu bosan menunggunya di kedai susu itu. Dia takut Christy bosan lantas minta pulang.

Hanya itu. Tapi semoga tidak.

Kini, ia bisa kembali fokus pada apa yang ia kerjakan. Masih ada satu jam lagi dari jam pulang. Ia harus cepat-cepat menyelesaikannya agar waktu pulangnya tak molor. Dia tidak ingin membuat adiknya menunggu lebih lama.

Sepertinya, sudah menjadi hal biasa lingkungan kantor ini jika memasuki waktu-waktu pulang. Banyak pegawai yang beranjak dari tempat duduknya untuk pergi ke toilet, ke dapur, atau sengaja mengupdate software komputer mereka agar bisa menikmati sisa jam kerja tanpa bekerja.

Terlebih ini hari Jumat, banyak dari mereka pun dirinya tak sabar untuk segera pulang dan menikmati hari libur esok hari.

Terkadang memang terasa membosankan berkutat dengan rangkaian kata setiap harinya. Seringkali, dia kehabisan kata-kata untuk menulis, dan itu yang akan menghambat dirinya untuk produktif.

Baru saja dia membatin terhadap beberapa senior yang terlihat mulai bosan dan meninggalkan meja, kini temannya pun melakukan hal yang sama.

Zafra, dia terlihat menolak kursinya cukup dengan tenaga agar mampu membawanya mencapai tempat yang dituju dengan segera. Vio mengamatinya sekilas. Dia hanya menggeleng melihat tingkah laku salah satu temannya itu.

"Tumben belum kelar? Masih lama pula ini jam baliknya. Gue mau main game, takut tiba-tiba Bu Dira lewat belakang." Adunya pada Vio.

Vio belum membalas. Dia membiarkan Zafra memainkan kursinya sembari menatap langit-langit kantor magangnya ini.

"Aldo sama Ashel kagak ke kantor lagi? Pasti langsung cabut dah itu dua bocah." Kata Zafra lagi.

"Lagi tumben banget, Bang Ical ngajak dua orang buat liputan di luar? Berarti minggu depan kemungkinan gue sama lu ya, Vi?"

"Minggu depan jatah lu doang berarti, Zaf. Gue 'kan udah kemarin."

"Sial, iya juga. Sendiri mulu dah gue kalau liputan." Keluhannya tanpa mengubah posisi.

"Aldo memang belum bisa kalau dilepas sendiri buat ikutin Bang Ical, Zaf. Jadi butuh teman." Balas Vio tanpa mengalihkan pandangannya pada layar komputer.

"Iya juga. Bang Ical sat set sat set. Bakal keteteran itu anak kalau sendirian."

Kali ini Vio tak menjawab. Membiarkan ucapan Zafra barusan menguap di sana dan menyisakan hening di antara mereka. Dia membiarkan Zafra melakukan apapun di sebelahnya.

Ada sekitar lima belas menit mereka sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Vio yang baru saja selesai, mulai meregangkan tubuhnya dan membereskan barang-barang yang sekiranya sudah tak akan ia gunakan di sisa waktu kerjanya ini.

Hal pertama yang ia ingat usai selesai dengan kesibukannya adalah ponsel yang ia masukkan ke dalam tas. Hatinya bergumam, menanyakan sudah berapa puluh pesan yang Christy kembali kirimkan pada nomornya?

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang