Tawaran

449 82 34
                                    

Sejak perseteruannya dengan Ashel tempo hari, dia dan perempuan itu, sama sekali tidak bertegur sapa. Bertukar pandang pun tidak. Ketika Ashel memandanginya, dia lebih memilih untuk pura-pura tidak tahu. Ketika mereka tidak sengaja berpapasan di area kantor, dia abai seperti tidak mengenal satu sama lain. Seperti orang asing. Bahkan, panggilan Ashel, beberapa kali benar-benar ia abaikan.

Jika boleh jujur, dia juga merasa bersalah telah memarahi Ashel petang itu. Tapi, dia tidak suka dengan sikap Ashel yang terlalu memaksakan kehendak. Apa maunya? Dia masih tidak habis pikir dengan semua ucapan Ashel tempo hari.

Saat ini, jam kantor hampir habis. Seperti biasa, ruangan yang tadinya dipenuhi suara keyboard diketik dan mouse ditekan, berangsur-angsur sepi.

Sebagian penghuninya memilih untuk beranjak menikmati kopi dan selinting tembakau di sisi kanan kantor, sebagian memilih untuk bertahan di depan komputer, membuka hal-hal yang bisa menjadi penghiburan, dan segelintir orang, memilih untuk memeriksa kembali pekerjaan yang telah usai.
Sedang dia, memilih untuk tetap duduk di depan komputer dengan tidak melakukan apapun terhadap komputernya.

Sebab, ponselnya lebih menarik. Di sana, terpampang barisan-barisan chat yang mampu membuat kepalanya sedikit ringan. Balasan-balasan pesan singkat yang mampu membuat ia melupakan sedikit kecamuk yang masih mengganggu pikiran.

Chika ☺

Oatmilknya take away aja ya, kak. Nnt aku simpan di freezer biar ttp dingin.
Aku minta buatin skrg biar ga kelamaan nunggu

Iya. Sbntr lg sy keluar kok ini. Tunggu ya beres-beres dulu.

Ya udh, kakak beres-beres, aku mau rekap. See you kak, hati-hati nanti ke sininya

Iya. See you.

Senyumnya semakin lebar saat Chika membalas pesannya dengan stiker.
Stiker karakter beruang yg tengah memeluk simbol hati besar di sana.

Hanya sebuah stiker, mampu membuat senyumannya terus terukir selama membereskan barang-barang dan mematikan komputernya. Cinta memang gila, kerap kali memutus kewarasan tanpa aba-aba.

Namun, senyum itu luntur saat ia berdiri dan siap untuk pergi, perempuan yang sangat ia hindari beberapa hari ini, berdiri menghalangi jalannya.

Ia tak mau membuang waktu, tungkainya ia arahkan untuk mengambil jalan memutar. Sialnya, tangan Ashel lebih cepat menarik lengannya cukup kuat.

"Gue mau minta maaf, Vi."

Belum ada jawaban yang ia keluarkan. Hanya embusan napas yang mampu ia keluarkan begitu berat dan kasar.

"Iya."

Semarah apapun dia pada Ashel, ia tetap tak mampu untuk membentak atau memberi cacian kata-kata terhadap perempuan ini. Dia selalu menahan diri agar tak meledak di hadapan perempuan, siapapun itu.

"Jangan cuekin gue." Pinta Ashel.

"Iya. Udah ya, Shel, gue buru-buru, Chika nungguin gue."

Ashel bergeming. Menatap Vio dengan pandang penuh harap. Entah apa yang diharapkan oleh gadis itu, Vio tidak tahu. Dia juga masih enggan berbicara panjang dengan Ashel. Kemarahan, sebenarnya masih ada di dalam hatinya. Ia takut, jika kemarahan itu keluar berbentuk kalimat yang mampu menyakiti hati temannya ini.

“Jangan cuekin gue, Vi.” Mohon Ashel sekali lagi.

Kini, dia yang terdiam, setelah tangannya diraih dan digenggam dengan kuat oleh Ashel. Dia tak tahu harus bersikap seperti apa sekarang ini, selain berusaha melepaskan genggam tangan itu pelan-pelan tanpa paksaan.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang