Pertengkaran

376 53 9
                                    

"Berapa lama? Soalnya baunya sampai nempel,"

Vio semakin terdiam. Tubuhnya menegang, hingga membuat lidahnya kelu. Ketidakpandaiannya berkata-kata, membuat ia benar-benar kehilangan kata. Barang sekecapun, tak ada kata yang keluar dari lisannya.

Dia membeku, membisu, merutuki dirinya sendiri. Dia paham dia salah. Dia paham dia sudah berbohong. Dia paham dia menyakiti Chika. Jika ia berkata tak ada maksud untuk itu, dia akan terlihat lebih bodoh dari makhluk mana pun. Dari awal dia sadar tindakan itu salah, amat salah. Tapi dia juga tidak paham, kenapa dia tak menolak ketika Ashel mengajukan ingin itu.

*

"Tapi gue boleh minta satu permintaan?" tanya Ashel pelan.

"Apa?"

"Peluk gue."

Vio diam memandang Ashel yang menatapnya iba. Mata perempuan itu berkaca-kaca. Mata yang dulu mampu membuat dirinya bertekuk lutut hingga bertahun-tahun. Bola mata yang tak berubah. Tetap indah.

Hanya saja, dia tak lagi memujanya. Ada mata yang lebih indah untuk di puja. Bola mata hazel milik Yessica yang kini menjadi kecintaannya.

"Gue nggak bisa," tolaknya.

"Vi, please! For the last. Abis ini gue nggak bakal gangguin lo. Please!" mohon Ashel padanya.

"Vio, please!" Ashel kembali memohon.

Ada kecamuk yang tiba-tiba berisik di dalam kepalanya. Ada ludah yang ia telan susah payah saat semakin dalam menyelami netra milik Ashel. Dan ada ketegangan saat Ashel mulai mendekapnya, setelah ia menganggukkan kepalanya ragu.

Dia terpejam, saat lengan Ashel semakin erat mendekap. Dadanya bergemuruh, darahnya berdesir hingga sekujur tubuhnya terasa dingin. Ia tak membalas, tapi dia juga tak menolak, meski hatinya terus mendesiskan kata maaf untuk Chika.

*

"Chik, sa—ya,"

"Minta maaf?" sambar Chika.

Vio menelan kembali kata-katanya yang ingin ia keluarkan. Tubuhnya semakin membeku di tempat. Matanya tak berani membalas tatap mata Chika yang menatapnya begitu dalam.

Kepalanya menunduk merutuki kebodohannya berulang kali di dalam hati.

"Kalau kamu belum selesai sama Kak Ashel, kenapa kamu ke aku, Kak? Aku bukan pelarian 'kan?"

Pertanyaan Chika, membuat kepalanya mendongak. Memberanikan diri menindih bola mata Chika yang mungkin sedari tadi, perempuan itu jatuhkan pandang ke arah dirinya.

"Kalau iya. Kayanya, kita berhenti dulu sampai—"

"No!" sergah Vio sambil menarik telapak tangan Chika dan menggenggamnya erat.

"Saya nggak ada niat untuk itu. Saya juga nggak akan berani deketin kamu, kalau saya masih ada rasa sama Ashel,"

"Tapi buktinya? Kamu dipeluk dia 'kan? Kamu izinin dia peluk kamu. Bahkan mungkin dalam waktu yang lama, iya?"

Vio diam. Dia mendapati kemarahan terpancar di bola mata Chika saat ini. Hatinya terasa ditekan melihat mata Chika yang menyiratkan kekecewaan.

Hubungan mereka, mungkin baru berjalan sebentar, tapi bukankah, diumur hubungan yang masih amat dini ini, harus banyak hal-hal yang dibangun? Kepercayaan misal. Vio mengaku bodoh telah mencederai hal itu.

"Kamu nggak bisa jawab 'kan, Kak? Kalau kamu memang udah nggak ada rasa sama Kak Ashel, kamu pasti bisa nolak itu. Tapi, kamu?" ada lepasan napas kasar yang Chika buang bersamaan melepas genggam Vio dengan kasar.

KAPASITAS IKAN MIGRASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang